April 2018

Beberapa kisah terindah dalam titik-titik waktu manusia tidak lebih dari sebuah kenangan. Tentang suatu waktu. Tentang suatu tempat. Tentang seseorang. Dan tidak akan terulang.

Namaku Mutia. Mutia Nastiti. Seorang perempuan sederhana, tinggal di pinggiran kota sederhana pula. Seumur hidup aku tidak pernah keluar dari kota ini, dan aku nyaman di sini. Namun, pernah pada suatu titik waktu dalam hidupku aku menginginkan menginjak kota lain dan menghembus aroma kota tersebut, mencecap-cecap rasa yang disajikan oleh kota lain tersebut.

Kota yang kutinggali adalah Solo. Kota yang sempat menjadi impianku adalah Semarang. Titik waktu itu adalah 2012, kelas 3 SMA. Aku mendapatkan pendidikan terbaik, SMA Negeri 1 Surakarta. Meskipun akhirnya impianku berada di kota tua Semarang belum terlaksana, aku masih belum sepenuhnya mengerti mengapa aku menginginkan berada di kota tersebut, terlebih untuk melanjutkan sekolahku di Universitas Diponegoro. Namun, sepertinya kini aku mengerti. Untuk menjelaskannya, mari aku bawa mundur cerita ini ke sisi ruangku, kala aku dipertemukan dengan seseorang….

Namanya Rifanda. Rifanda Abimanyu Baskoro. Aku lupa kapan aku pertama bertemu dengannya. Saat itu kami berdua hanyalah murid baru di SMA 1. Kami berasal dari SMP yang berbeda. Ia berasal dari SMP terbaik di kota Solo, sedangkan aku hanyalah termasuk sebagian kecil murid SMP-ku yang berhasil memasuki SMA 1. Saat itu, kami pun mengenyam jenis pendidikan yang berbeda di SMA kami. Tahun 2010 adalah tahun ketika Menteri Pendidikan Indonesia menerapkan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau RSBI, dan sebagai SMA terbaik di Solo, SMA 1 mendapatkan hak eksklusif untuk menjadikan semua kelas sebagai kelas Internasional. Tidak hanya itu, SMA 1 juga membuka program Akselerasi atau percepatan sekolah sejumlah 2 kelas. Aku terdaftar di kelas RSBI, sedangkan Rifanda terdaftar di kelas Akselerasi.

Rifanda adalah sosok yang awalnya kurang kuperhatikan. Kelas kami berjauhan, meskipun begitu, tanpa terelakkan kami sering mengalami peristiwa yang sama. Kurasa, aku terlibat peristiwa dengannya pertama kali adalah ketika kemah pramuka setelah masa orientasi selesai. Seperti biasa, kemah pramuka menyediakan api unggun, dan juga permainan seru di malam hari, salah satunya adalah lomba cerdas cermat. Tiba-tiba saja, kelasku memintaku menjadi peserta lomba itu, bersama temanku. Ternyata, di tahap final hanya tinggal kelasku dan kelas Rifanda dan Rifanda menjadi wakil kelasnya beserta temannya. Saat itu kuperhatikan dia begitu pintar dan berwawasan luas, dan tak hanya itu. Ketika aku menjawab dengan benar, ia berdecak kagum, memujiku dan sedikit merutuki dirinya karena ia lupa akan jawabannya. Aku tersanjung. Katakan saja, aku orang yang senang mendapat pujian. Haha, dan pujian lelaki itu sungguh manis. Meskipun begitu, aku tidak repot-repot untuk mencari tahu tentangnya. Kala itu aku sungguh lelah, sehingga setelah selesai aku dan temanku langsung pergi untuk beristirahat. Pertemuan selanjutnya hanya ketika kami bertemu saat mengambil hadiah, di penghujung kemah 3 hari itu.

Sekolah adalah tempat terbaik untuk membunuh waktu, karena suka atau tidak, hari demi hari berlalu dengan cepat di SMA 1. Sebagai murid baru, kami semua wajib memilih ekstrakurikuler. Aku memilih ekskul klub debat bahasa Inggris, karena aku ingin meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku. Aku mengikutinya bersama salah satu teman sekelasku. Cukup seru, meskipun cukup sulit juga. Kemudian setelah beberapa pertemuan aku baru menyadari, ada Rifanda yang duduk manis tiap kali ekskul itu diadakan… Diam-diam, aku memperhatikannya. Ia berpostur tinggi, kulit hitam manis, dengan paras yang menyenangkan untuk diperhatikan. Ekspresinya lucu, tetapi ia jauh dari lelaki lucu. Dia anak mama yang baik, sekaligus tipikal anak Solo yang menyimpan kenakalan entah berapa banyak. Pun lagi, ia selalu dapat membuat kondisi di sekitarnya nyaman dengan dirinya. Pribadi ramah dan hangat, tetapi bukan berarti ia tidak menyimpan rahasia. Pembawaannya yang menyenangkan menyebabkan semua orang di tim debat merasa senang dengan kehadirannya. Namun masih sulit bagiku untuk mendekat. Seakan-akan ada keengganan yang membentengi diri untuk terbuka dan menjalin ikatan pertemanan dengannya, entah mengapa.

Selain ekskul debat, ada keterkaitan lain yang membawa kami berada di tempat yang sama. Kelas olahraga. SMA 1 melaksanakan kelas olahraga di stadion manahan, dengan jadwal teratur. Agar tidak mengganggu jam sekolah biasa dan agar lebih fresh, olahraga dilaksanakan pagi hari, yaitu dimulai pukul 05.30 dan selesai biasanya pada pukul 06.30. Beberapa kali pertemuan aku hanya memperhatikan bahwa selain kelasku, ada kelas X.1 yang memiliki jam olahraga sama. Namun, tiba-tiba guru olahraga kami pada suatu hari mengajak kelas lain untuk bergabung, disebabkan kala itu guru olahraga yang mengajar mereka sedang berhalangan hadir. Tebak saja, siapa yang bergabung. Ya, Rifanda dan teman-teman sekelasnya bergabung di pelajaran olahraga kami. Karena menurutku aku dan dia bukan teman yang begitu dekat, maka tidak ada dari kami yang saling menyapa, atau, mungkin, aku tidak menyapanya sehingga ia tidak menyapaku. Kemudian, tiba-tiba temanku yang bernama Tita menyapanya seperti kawan lama. Tanpa sadar aku memperhatikan mereka, dan Tita menyadarinya. Ia tidak mengatakan apapun saat itu, tetapi setelah kami berada di kelas kami untuk memulai pelajaran, ia menanyakan hal tersebut. Aku sulit menjawab, karena aku sibuk memikirkan dalih apa yang akan kubuat. Dalih? Mengapa dalih? Karena aku sendiri tidak paham apa yang membuatku tanpa sadar memperhatikan Rifanda. Namun, Tita melihatku tanpa memperhatikan semua dalih yang kupasang. Sial memang. Anak itu lebih pintar dariku dalam urusan seperti ini. Ya sudah, singkat saja, Tita mengerti aku diam-diam memperhatikan Rifanda dan ia juga mengerti kebingunganku untuk memulai sesuatu dengan Rifanda.

“Mut, aku punya nomernya Rifanda lho.”

“Eh? Apa iya?”

“Iya. Kami kan sekelas 3 tahun waktu SMP.”

“Oooh.” Aku terdiam. Dalam diri berkecamuk apa yang seharusnya aku lakukan. Tiba-tiba saja mengirim sms kepada Rifanda? Dan apa yang akan kukatakan? Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana. Tiba-tiba, Tita tertawa. “Mutia, lucu deh. Kok cuma oh?”

“Lha aku bingung. Trus kalo udah punya nomernya, apa? Aku sms gitu? Ngomong apa?”

“Kenalan dong.”

“Kan seekskul bareng, ntar kalo dia mikir kenapa ini anak enggak kenalan langsung, gimana?”

“Haha, yaudah besok waktu debat ajak kenalan gih. Berani enggak?”

Sial. Telak. Aku menghela nafas. “Enggak,” jawabku enggan. Tita tertawa lagi. Kemudian dia menunjukkan foto-foto saat teman-teman SMP-nya pergi ke pantai. Ia menunjukkan foto Rifanda, dan ketika mereka difoto berbarengan. “Dia lucu kok Mut. Lucu yang agak garing sih tapi mungkin kalo sama kamu cocok.”

“Apaan sih Ta.” Aku mulai malas membahas lebih jauh lagi. Kala itu istirahat, dan kemudian bel dimulainya pelajaran jam keempat dimulai. Sejak itu, Tita sering menggodaku dengan Rifanda dan teman-teman sekelas kami yang mengenal Rifanda juga sudah ikutan menggodaku. Aku jengah tetapi diam saja karena menurutku, Rifanda tidak akan tahu. Sementara itu, sedikit banyak perkembangan kami di tim debat mulai terlihat. Namun, itu bukan berarti ia sudah otomatis dekat denganku. Rifanda sudah menunjukkan, apa yang sebenarnya membuatnya seperti dekat tetapi sekaligus sulit untuk didekati. Rifanda adalah pemilih ulung yang tidak menunjukkan cara ia memilih teman. Ia menghormati orang-orang yang sudah ia anggap teman, dan mendengarkan apapun yang mereka katakan. Namun, ketika ia bertemu dengan orang baru, ia memperhatikan bagaimana orang tersebut berbicara, bagaimana kemampuan dan wawasannya, dan opini dari orang tersebut. Kaku memang, seperti apa yang pernah Tita katakan padaku. Namun, aku justru dapat memahami hal tersebut. Hal itu adalah mekanisme untuk membentengi diri dari teman yang justru memberi pengaruh buruk. Kurasa, aku pun juga memiliki mekanisme tersebut dan aku tiba-tiba saja berpikir bahwa ia hampir sepertiku. Pemikiran itu kemudian membuatku tanpa sadar ingin mendekat dan ingin berteman dengannya. Entahlah, sebuah pemikiran untuk pemuasan diri, mungkin. Justru ketika teman sekelasku di tim debat mengatakan Rifanda sombong, aku hanya ingin mengenalnya lebih jauh dan menentukan apakah ia memang sombong ataukah ia hidup dengan tatanan tertentu.

Rifanda sepertinya belum menyadari jika aku diam-diam memperhatikannya. Maka, aku gunakan kesempatan itu untuk mengenalnya dan mencari celah yang dapat kumanfaatkan—apapun itu. Untuk apa? Entahlah. Berulang kali aku berpikir apa yang sebenarnya aku cari, maksudku, mengapa aku ingin mengenalnya lebih jauh? Mengapa aku diam-diam memperhatikannya? Padahal aku bahkan tidak begitu menyadari jika dia orang yang sama ketika lomba di kemah pramuka waktu itu. Mungkin aku hanya terpikat oleh pesona yang ia pancarkan: postur tinggi, kulit sawo matang, senyum ramah yang sekaligus menghiasi wajah rupawannya. Oh, sungguh, memperhatikannya adalah sebuah kenikmatan, apalagi jika melihat bola matanya yang berwarna coklat kehitaman. Lambat laun, aku berharap ketika ekskul debat kami menjadi satu tim. Aku berharap dapat duduk bersampingan dengannya. Aku berharap dapat bercanda dengannya. Sungguh, malu rasanya. Namun ada rasa tidak puas yang semakin membuatku jengah jika aku ternyata berada di tim yang berbeda dengannya. Aku pun sedikit muak jika ia bisa bercanda dengan siapa saja, sedangkan aku hanya diam memandanginya dari sudut kelas yang kami pakai untuk latihan. Hingga akhirnya, hari yang kuharapkan datang. Saat itu, akhirnya kami berada dalam satu tim!

Masih kuingat jelas siang di hari Jumat itu. Kala itu tidak begitu cerah, tetapi tidak sepenuhnya mendung. Hanya sedikit gerimis mendinginkan dan menyegarkan suasana saat itu. Tim kami berjumlah 4 orang; aku, Rifanda, dan 2 gadis dari kelas akselerasi, salah satunya sekelas dengan Rifanda. Maaf saja, saat ini aku benar-benar lupa siapa nama mereka. Aku hanya teringat bagaimana rupa mereka, itu pun samar-samar. Hahaha, sulit bagiku untuk membagi perhatian ketika aku hanya terfokus pada Rifanda saja. Agar lebih fokus, kami berlatih di luar kelas. Kelas yang kami gunakan untuk latihan adalah XII SBI 2, yang berhadapan dengan taman tengah SMA Negeri 1 Surakarta saat itu. Berada di luar, kami memutuskan untuk duduk di lantai koridor sembari berdiskusi tentang isu yang dibahas nantinya. Sungguh, tidak akan kulupakan saat itu. Wangi tanah yang basah akibat hujan, aroma embun menetes di dedaunan dan rumput-rumput yang basah oleh gerimis, dengan Rifanda yang duduk di sebelahku. Debat berjalan dengan baik, tetapi yang paling kuingat adalah kala itu akhirnya aku dapat berbincang dan bercanda dengannya. Dan juga, kala kami para gadis bertiga bercanda, ia sering menimpali. Ia sering melihat ponselnya saat itu, tetapi saat aku berbicara ia selalu melihat ke arahku sembari tersenyum ramah. Sungguh, hatiku meleleh.

Rifanda tidak berhenti di situ untuk membuatku tersenyum. Beberapa hari setelah jadwal ekskul debat, yaitu pada suatu pagi ketika aku baru saja sampai di SMA, aku berpapasan dengannya. Kala itu aku yang turun dari bus berjalan masuk melewati gerbang depan kemudian berjalan lurus menuju lorong koridor dekat parkir motor guru. Aku berjalan bersama temanku dan kami berjalan lurus ke bagian belakang gedung karena ruang kelas kami terletak di belakang. Saat kami berjalan kami melewati gerbang samping tempat murid yang membawa motor dapat masuk ke gedung sekolah. Saat itulah aku bertemu Rifanda. Ia berjalan sendirian, terlihat jangkung seperti biasa, dan ditambah dengan pullover tipis berwarna biru tua tanpa kerah yang sering ia kenakan, bahunya terlihat bidang dan membuat aku terkesima. Aku masih bercanda dengan temanku ketika aku melihatnya, tetapi aku menghentikan semua aktivitasku ketika melihatnya tersenyum lebar kepadaku. Kepadaku. Sungguh, aku tidak menyangka apa yang ia lakukan saat itu. Aku menoleh melihatnya berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua bagian depan gedung, pojokan, tepat di atas ruang wakil kepala. Ia tidak menoleh ke belakang, atau melihatku lagi. Melihat punggungnya yang lebar menjauh dariku membuatku gila. Hampir saja saat itu aku mengejar dan memeluknya dari belakang. Ah, sungguh memalukan imajinasiku. Aku melanjutkan perjalananku menuju kelasku.

Rifanda menyenangkan, bukan? Aku seharusnya dapat memanfaatkan momen-momen apapun dengannya untuk membuat kami berdua dekat. Terlebih dia tidak menolak perhatian macam apapun. Maka, aku pun memberanikan diri. Suatu malam, aku meminta nomer teleponnya dari Tita, yang dengan cepat meresponnya. Setelah mendapatkan nomer telepon Rifanda, aku pun mengiriminya pesan singkat. Aku tidak mengharapkan balasan apapun, ataupun apapun. Namun, dengan cepat pesan singkatku dibalas oleh lelaki itu. Sisa malam itu kami habiskan untuk saling berkirim pesan singkat. Sungguh, menyenangkan. Ya, Rifanda memang menyenangkan. Namun, kala itu aku tidak mencari yang menyenangkan….

***

Orang-orang datang dan pergi dalam hidup kita. Beberapa langsung saja. Beberapa memang hanya singgah. Sedikit yang kita kira menetap tapi justru menyelinap pergi. Namun, ada beberapa orang yang kita biarkan pergi tanpa kita tahu terlebih dahulu apa yang sebenarnya mereka inginkan.

Dunia baru menawarkan orang-orang baru, dengan cerita, latar, kepribadian dan agenda yang berbeda-beda. Kelas 1 SMA adalah dunia baruku, dengan orang-orang baru yang masuk ke dalam duniaku. Rifanda, adalah salah seorang yang masuk tanpa sadar dan meminjam kunci sebuah ruangan. Namun, bukan hanya Rifanda yang kubiarkan masuk. Aku juga bertemu orang lain, yang membuatku sulit berpikir dan sesak bernapas.

Namanya Muzakky. Seorang senior, kelas IPS. Ia menjadi pembimbing ketika aku mengikuti masa orientasi. Aku hanya memperhatikannya pelan saja, murni sebuah ketertarikan melihat seorang senior yang sepertinya mampu melakukan semua agenda. Sebuah ketertarikan yang berbeda dibandingkan Rifanda, meskipun, tidak dapat dipungkiri, aku bertemu Muzakky dahulu dibandingkan Rifanda. Namun, Muzakky adalah sumber prahara yang tersamarkan. Aku hanya memperhatikannya dalam posisi seorang junior, tetapi ia memberi perhatian yang membuatku berharap jauh lebih tinggi, hanya untuk membuatku tahu jika dia sudah memiliki pacar. Saat aku menjauh, dan bertemu Rifanda, saat itulah hubungannya retak dan dia memberi perhatian kepadaku lagi. Sungguh, apa yang Muzakky lakukan membuatku bingung dan tidak mengerti apa yang lelaki inginkan. Kemudian, Muzakky sempat melihatku berbincang dengan Rifanda saat kami latihan debat. Keesokan harinya, ia menanyakan kepadaku, siapa yang kuajak berbicara. Menyebalkan memang, tetapi sesuatu yang mengikatmu tanpa sadar membuatmu lebih patuh dan melupakan sesuatu yang justru membuatmu bebas dan bahagia. Terkadang, laki-laki sangat pintar memberi takaran yang pas untuk sifat posesifnya, membuat sesuatu yang berbahaya menjadi terlihat manis dan menyenangkan bagi perempuan, dan aku hanyalah gadis polos yang mudah jatuh hati melihat tindakan manis seorang laki-laki kepada perempuan, sehingga apapun yang dilakukan Muzakky untuk mengikatku membuatku tidak terfokus pada lelaki jangkung berbahu bidang yang dapat membuat jantungku meleleh.

Ceritaku dengan Rifanda tidak berakhir begitu saja. Segera setelah kami mulai lebih dekat, Tita mulai sering memberi kode kepada kami berdua kala jam olahraga. Aku menikmatinya, tetapi aku merasa bersalah kepada Muzakky sehingga aku tidak menggubrisnya. Lagipula, aku takut ia berpikir aku benar-benar mendekatinya. Sejauh yang aku tahu, laki-laki membenci perempuan agresif. Ketidakpedulianku ternyata berbalik dengan sikapnya. Ia terlihat gemas ketika Tita memanggil-manggilku, dan sering kali melihatku. Ia memperhatikanku dari kejauhan, bahkan ketika kami melakukan kegiatan olahraga yang berbeda, ia masih memperhatikanku. Namun, aku masih tidak mengindahkan apapun. Aku pun berhenti mengiriminya pesan singkat. Lebih buruk lagi, kala kami menjadi satu tim adalah kala ekskul debat menyeleksi anggota baru untuk menjadi anggota tim lomba debat dan keberuntungan tidak bersamaku saat itu, karena setelah itu latihan difokuskan kepada tim lomba dan aku ataupun Rifanda bukan termasuk tim lomba, sehingga kami tidak melakukan latihan bersama lagi. Keadaan menjadi stagnan hingga memasuki kelas XI bagiku. Aku berhasil masuk kelas IPA, dan berada di kelas XI IPA 1 sedangkan Tita masuk ke kelas IPS. Kelas kami terpisah, ia berada di kelas depan mushola perempuan, dan aku di dekat kelas pojokan, bersebelahan dengan kelas X Akselerasi. Saat itu aku tidak memperhatikan sekitarku, tetapi saat aku berada di balkon untuk melihat taman SMA ku di bawah, aku menyadari di balkon sebelah berdiri Rifanda dan diam-diam memandangiku meskipun ia juga lebih banyak memandangi taman bawah. Aku termangu, dan sadar ia sudah kelas XI juga, lebih cepat dariku tentunya. Penampilannya mulai berubah. Rambutnya lebih gondrong, kulitnya mulai cukup coklat. Namun semua itu hanya membuatnya lebih keren di mataku. Ingin aku menyapanya, tetapi keraguan merayapi diriku. Untuk apa? Dan bagaimana? Apa yang kemudian aku katakan? Aku yang mengabaikannya. Membiarkan ia pergi, membiarkan kesempatan untuk menjadi dekat dengan seseorang yang baik hilang begitu saja. Keraguan itu menang, akhirnya aku masuk ke dalam kelasku. Kini, tidak ada Tita lagi yang dapat menjadi tempatku bercerita, karena ia mulai sibuk dengan organisasinya. Aku mendapat teman baru, yang tahu ceritaku dengan Muzakky dan Rifanda, dan kukira mendukungku, tetapi justru ia bukan teman terbaik karena ia tidak dapat memberikan solusi apapun.

Hari berjalan seperti biasa, seiring dengan itu aku kian terbiasa memiliki kelas yang bersebelahan dengan Rifandi. Kami pun mulai seperti orang asing lagi. Aku kemudian fokus kepada Muzakky yang memberikan perhatian seperti biasa, tetapi tiba-tiba ia mencabut semua perhatiannya, ketika ia berpacaran lagi dengan pacar lamanya. Tidak belajar dari apapun, aku tetap menganggap semua baik-baik saja. Aku tidak segera melakukan apapun. Kemudian, sesuatu terjadi. Tim lomba debat akan melaksanakan lomba debat lagi, tetapi mereka kekurangan personil. Mereka mengajakku, tetapi aku rasa aku tidak sanggup melakukannya, sehingga aku menolaknya. Tawaran tersebut jatuh kepada Rifanda. Aku tersenyum kecut saat tahu, betapa aku rindu momen kami berdua mendiskusikan segala sesuatu. Aku juga kesal, kenapa tidak lagi seperti dahulu. Namun, aku senang. Aku tahu, dia akan membawa banyak manfaat untuk tim debat. Tim debat melakukan latihan secara terbuka, dan karena sebagian dari mereka adalah teman-temanku yang lama, aku tahu kapan saja mereka latihan. Bahkan mereka mengajakku. Namun, aku menolaknya karena aku tidak tahan dengan kecanggungan yang mungkin muncul antara aku dan Rifanda. Tiba-tiba saja, semua personil tim debat tahu aku pernah dekat dengan Rifanda. Mereka sering menggodaku kala Rifanda tidak ada, hingga pada suatu siang sepulang sekolah dan aku masih di sekolah. Kala itu, aku menunggu temanku yang biasa pulang bersamaku. Aku bosan menunggu di depan sekolah, sehingga aku berjalan ke dalam sekolah lagi. Saat itulah aku bertemu Muzakky, yang sudah beberapa minggu terakhir tidak menyapaku sama sekali sehingga aku tidak mengindahkannya.

Namun, Muzakky menyapaku. Sapaan yang manis dan mencuri perhatian. Membuatku terkejut tetapi sangat senang. Aku kemudian mencari temanku di lantai atas, di depan kelas XI IPA 5. Ia masih di dalam, dan aku bosan sehingga aku berada di balkon. Kemudian dia menyusulku, dan kami berdua melihat tim debat ada di kelas XI IPA 1, yaitu kelasku sendiri. Mereka melihatku, dan kemudian mulai dengan kencang menggodaku dengan Rifanda. Rifanda panik dan menyuruh mereka semua diam meskipun tidak berhasil, dan aku dipanggil-panggil oleh mereka, tetapi karena aku merasa canggung dan baru saja seperti mendapat kepastian, aku tidak menggubris mereka sama sekali. Aku pun hanya melihat ke arah lain. Akhirnya mereka berhenti, dan aku pergi bersama temanku. Sejak saat itulah, jarak kami berdua semakin lebar.

Kemudian, apa yang terjadi? Ia mempercepat langkahnya menuju kelas XII dan ikut lulus bersama angkatan Muzakky. Apakah aku selanjutnya bersama Muzakky? Jawabannya adalah tidak. Muzakky adalah lelaki jahat yang hanya membuatku bingung dan mengabaikan seseorang yang justru benar-benar baik dan sesuai dengan tipe laki-laki yang kuinginkan. Segera setelah ia tiba-tiba menyapaku, aku tahu jika Muzakky saat itu putus lagi dan sedang mencari semacam peluang. Tiba-tiba tidak lama, ia mengabaikanku lagi dan memang, saat itu dia sudah berpacaran dengan teman sekelasnya. Seseorang yang, selain membuatku terpuruk dan bingung, juga yang berani menyuruhku untuk tidak mengganggu Muzakky lagi.

Saat itulah aku kemudian tahu, aku telah membuat keputusan yang sangat salah. Aku ingin menyalahkan Muzakky dan semua perhatiannya yang membuatku mati rasa dan melupakan yang lain, tetapi aku sadar, itu salahku sendiri. Itu salahku untuk mudah terperdaya olehnya, itu salahku sendiri untuk tidak mengindahkan Rifanda, dan itu salahku sendiri ketika akhirnya Rifanda menganggapku seseorang yang asing lagi. Ketika aku tahu dia lulus dan meneruskan di Fakultas Kedokteran, aku berpikir pastilah ia meneruskan kuliahnya di UGM. Tita pun membenarkannya, sehingga aku cukup bangga mendengarnya. Ia memang sangat pintar, sesuatu yang membuatku tetap memperhatikannya saat di tim debat. Aku pun yakin, ia akan menjadi dokter yang handal suatu saat nanti. Akhirnya, aku meneruskan hidupku. Aku berkuliah di UNS, dan berhasil menamatkan kuliahku dalam waktu 4 tahun. Kini, aku bekerja. Ingatan akan Rifanda sudah tidak pernah muncul lagi, kecuali saat itu, ketika aku dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba saja, namanya, wajahnya, dan semua titik-titik momen itu muncul lagi dalam benakku. Menyedihkannya, ingatan itu tidak pudar dengan mudahnya. Aku jengah, sulit menentukan apa yang harus kulakukan. Aku mencari semua media sosial yang ia miliki tetapi semuanya dibuat pribadi, sehingga aku harus mengikuti laman media sosialnya. Aku pun ragu, karena aku tidak yakin ia mengingatku lagi. Namun tidak ada salahnya mencoba. Setelah itu, aku mencari namanya di kolom pencarian Google, dan fakta yang kudapat adalah ia tidak kuliah di UGM, melainkan di UNDIP.

UNDIP. Ya, kampus yang sempat menjadi kampus impianku. Jika dahulu aku tidak pernah memahami keinginanku bersekolah di Semarang, kini aku tahu. Mungkin saja, Tuhan memberi kemungkinan bagiku untuk bertemu Rifanda lagi. Namun meskipun begitu, kurasa itu sudah berakhir. Rifanda lulus tahun 2016, dan mengambil studi mengenai jantung sehingga kurasa ia akan menjadi dokter jantung. Namun, melihat foto profil beberapa laman sosialnya, aku rasa ia sedang berkuliah di luar negeri.  Kurasa, hal-hal besar sedang menantinya. Ia tidak mungkin melihat ke belakang, ke arahku. Jika memang ia akan lakukan hal itu, pastilah ia tidak memiliki waktu untukku.

Untukmu, bintang besar terang yang pernah menerangiku.

Untukmu, yang dengan kepintaranmu membuatku terpana.

Untukmu, yang dinantikan oleh hal-hal hebat dalam hidupmu.

Untukmu, seseorang yang tiba-tiba kuingat.

Untukmu, semoga Tuhan selalu melindungimu.

Untukmu, berbahagialah.

Semoga di hari yang baik, jika memang jalan bagi aku dan untukmu,

Semoga, semoga, ada pertemuan untuk kita.

***

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading