Agustus 2015

Disadur dari cerita rakyat “Sura lan Baya”

Bekerku seperti biasa membangunkanku pukul 05.00 pagi. Setelah kumatikan, bekerku tidak berbunyi lagi dan aku pun mulai bangun dan memulai aktivitasku. Setelah menginjak pukul 06.00 aku pun mulai menyambar tas sekolahku lalu mengambil motorku dari garasi rumahku. Ya, aku pun berangkat ke sekolahku, SMA N 3 Surabaya. Namun aku tidak akan berangkat sebelum tetanggaku, yang juga sahabatku, siap.

“Adit, ayo berangkat!” Ujarnya ketika aku masih duduk di jok motorku dan bermain dengan telepon genggamku. Segera saja kami berdua berpacu dengan motor kami, membelah jalanan pagi Surabaya. Kami berdua segera tenggelam dengan ratusan motor dan mobil yang memiliki arah dan tujuan masing-masing. Sesampainya di sekolah, kami memarkir motor kami di zona parkir lalu kami berjalan santai ke kelas kami. Sembari berjalan kami selalu menyapa teman-teman kami, dan tentu saja, kami pun disapa gadis-gadis cantik yang menaruh hati kepada kami.

“Dit, si Anita berjalan ke sini. Habis ini mesti nyapa kau.” Bisik Indra, sahabatku itu, ketika salah satu gadis cantik SMA kami berjalan dengan arah berlawanan dengan kami. Indra memang kalau menggodaku selalu mengganggu dan menyebalkan. Ingin kutimpuk ia dengan batu atau hal sejenisnya agar tidak menggodaku dengan gadis-gadis lagi. Namun kutahan keinginan itu saat Anita menyapaku. Baru setelah kami tinggal berdua, benar-benar kutimpuk dia. “Dasar anjing kau! Berhenti menggodaku dengan gadis-gadis yang kita kenal!!”

“Hahaha…kau sendiri tidak bisa berhenti menggodaku saat Arini memberikan nomor teleponnya kepadaku tanpa kuminta. Dit, aku akan memberi sedikit pengarahan. Kau lupa kita siapa? Kita Indra dan Adit, duo cowok ganteng keren pintar di SMA ini dan jangan berlagak lupa deh orang tua kita siapa. Lagipula perhatian sejenis ini juga kita dapetin dari waktu kita kecil `kan? Jadi ga usah berlagak kau ga bisa mengkontrol semua perhatian gadis-gadis ini, karena aku tahu dalam hatimu kau sama menikmati semua perhatian ini, sama kayak aku.” Demikian penjelasan Indra diiringi senyum nakalnya. Aku sebenarnya sudah sangat jengah mendengar penjelasan itu setiap pagi mulai dari kami berdua menyadari kami adalah pusat perhatian banyak orang, yang artinya dimulai dari kelas 2 SD. Namun melihat senyum nakal Indra, aku tak tahan untuk ikut tersenyum seakan-akan aku memiliki dunia seisinya. “Ndra, untuk keselamatanmu, kau sebaiknya segera memiliki kekasih.” Ujarku, kalem. Indra memandangku lama sembari masih tersenyum nakal. Saat itu kami berdua sudah di kelas kami. “Itu saranmu? Bisakah kau mendengar dirimu sendiri? Tolong Dit, dengarkan dirimu saat mengatakan hal tersebut dan lihatlah ke dalam dirimu sendiri dan tanyakan, apakah kau sudah memiliki kekasih?”

“Kau tahu, aku mungkin akan sengaja melajang.” Kami berdua sudah duduk bersisian di belakang kelas. Penghuni meja di depan meja kami kebetulan gadis-gadis juga dan segera setelah kami berdua duduk mereka mulai ritual kecantikan mereka; menyisir rambut, memakai make up dan lain sebagainya. Sebuah ritual yang sebenarnya selalu kami berdua tertawakan. Kali ini Indra melihat kedua gadis itu dan kemudian memandangku lagi, “kau mengambil keputusan yang benar. Aku juga sebenarnya malas dengan semua gadis yang menyodorkan diri kepada kita.”

“Katamu kau menikmati semua perhatian mereka.” Pembicaraan kami menjadi bisik-bisik belaka karena jam pelajaran pertama sudah dimulai dan Bu Nandar, guru Bahasa Indonesia kami sudah masuk ke kelas. Kami pun mengeluarkan buku diktat dan buku catatan kami. Tak lupa, kami juga mengeluarkan tugas minggu lalu. Berkaitan dengan HUT Kota Surabaya yang sudah akan datang, Bu Nandar memberi kami tugas mencari silsilah tentang kota kami. Suatu tugas yang sebenarnya menurutku cukup tidak penting karena pastinya semua pasti akan membahas cerita rakyat ikan hiu atau Sura dan buaya atau Baya yang sebenarnya sahabat tapi selalu bersaing mencari makan dan akhirnya selalu bertarung dan dalam setiap pertarungan mereka tidak ada yang menang ataupun kalah karena keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Aku bertaruh pasti semua anak di kelas ini akan menuliskan cerita yang sudah kami kenal dari waktu SD itu.

“Katakan, anak-anak, apakah kalian menceritakan tentang cerita rakyak Sura dan Baya yang selalu bertarung memperebutkan makanan lalu membagi wilayah itu?” Demikian pertanyaan Bu Nandar ketika beliau sudah membaca sekilas tugas-tugas kami semua. Semua pun langsung menjawab “Iyaaa Buuu.” Lalu kami semua tertawa, bahkan Bu Nandar pun tersenyum. Lalu beliau menyuruh kami diam dan menceritakan cerita rakyat lain tentang Sura dan Baya, yang berkaitan dengan zaman kerajaan Majapahit. Aku hendak mendengarkan tetapi Indra masih saja membahas tentang gadis-gadis yang memuja dirinya. Aku pun panik saat Bu Nandar melihat kami berdua. Senyum manis Ibu itu berubah menjadi pedang yang menusuk kami ketika beliau menyuruh kami berdua maju ke depan kelas.

“Adit, Indra, tolong ceritakan tentang cerita Sura dan Baya yang kalian tahu.” Kami pun menceritakan tentang cerita yang semua orang tahu itu. Kemudian Bu Nandar pun berkata,

“Ada legenda lain yang menceritakan kisah Sura dan Baya yang lain. Legenda itu menyatakan mereka berdua sebenarnya adalah sahabat karib seperti kalian berdua dan sering menyebabkan masalah baik di daratan maupun di lautan. Kemudian, suatu hari Istri Prabu Brawijaya yang saat itu adalah Raja dari Kerajaan Majapahit sedang berada di sungai untuk membersihkan diri. Namun Prameswari dikabarkan menghilang dan ada saksi mata yang melihat Istri Prabu Brawijaya tersebut telah meninggal dimangsa oleh Sura dan Baya. Namun, tidak ada yang merasa berdosa sebab bagi mereka hal tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi semata. Nyatanya, Sura-lah yang berniat memangsa Prameswari dan Baya hanya ia panggil untuk membantu menangkap Prameswari. Namun Sura tidak ingin mengaku, menyebabkan Baya marah karena nyawa keduanya terancam. Keduanya pun berkelahi dan ketika mereka berkelahi tidak ada yang menang maupun kalah sebab keduanya sama-sama kuat. Akhirnya, keduanya mati. Demikian, cerita rakyat yang lain mengenai asal usul Surabaya.” Kemudian Bu Nandar terdiam sebentar dan aku berharap teman-teman akan berkomentar sesuka hati mereka seperti yang selalu terjadi saat kelas Bahasa Indonesia, tetapi saat ini yang terjadi adalah tidak ada yang berbicara apapun. Semua terdiam dan memandangi kami berdua. Kusadari bahwa Bu Nandar pun memandangi kami. Aku mulai jengah. Apa maksud dari ini semua?

“Cerita yang luar biasa, Bu.” Indra pun mulai berkomentar. Biasanya ketika Indra mulai berkomentar semua penghuni kelas akan tertawa. Namun kali ini semua terdiam. Aku mulai benar-benar tidak mengerti. “Indra, menurutmu apakah dirimu dan Adit bisa dibilang cerminan Sura dan Baya?” Tanya Bu Nandar. Indra pun menjawab, “Saya yakin tidak Bu. Kami bukanlah binatang yang akibat nafsu akal dan pikirannya tertutup.” Bu Nandar tersenyum, lalu melanjutkan. “Semoga memang tidak. Namun yang perlu kalian ketahui bukanlah nafsu untuk makan atau memangsa-lah yang memecah persahabatan kedua binatang tersebut, melainkan akal bulus untuk mengelabui salah satu sahabat. Semoga akal pikiran kalian tidak membohongi kalian. Sekarang, silakan duduk kembali.” Bu Nandar masih tersenyum manis tetapi yang membuatku berpikir bukanlah senyum manis Ibu muda itu. Apa yang ia katakan, itulah yang mengganggu pikiranku. Apakah mungkin aku dan Indra bisa kehilangan akal sehat dan saling membunuh seperti Sura dan Baya?

“Ndra, kita bukan Sura dan Baya, `kan?”

Indra terdiam sebentar kemudian mendengus, lalu menjawab pertanyaanku. “Tentu tidak. Aku memilih membunuh diriku sendiri jika ada keinginan membunuhmu dalam pikiranku.”

***

Keesokan harinya, SMA kami heboh. Yah, setidaknya penghuni SMA kami heboh. Hal ini disebabkan karena kedatangan seorang Putri ke sekolah kami. Tentu saja, banyak lelaki yang mulai mencari informasi dan segera melakukan berbagai cara untuk mengenal Putri ini. Dan beruntunglah kelasku karena Putri cantik itu ternyata akan melengkapi keganjilan kelasku. Banyak gadis yang mulai iri karena takut kecantikan mereka terlampaui, dan memang sejujurnya sudah terlampaui. Namun untuk kebanyakan lelaki, yang kami pedulikan hanyalah bagaimana menjadikan Putri itu milik kami.

“Dit cantik banget Dit! Kayaknya janjiku untuk sengaja melajang kemarin aku batalin deh.”

“Apa?” Tanyaku, hampir seperti protes. “Secantik apa sih gadis itu sampai membuatmu melupakan janji-janjimu yang memang sebenarnya hanya bualan?” Cemoohku. Indra menimpuk kepalaku. Aku tertawa, tetapi tawaku segera lenyap melihat seseorang berjalan memasuki kelasku. Pasti itu si Putri itu! Ya, aku memang belum melihatnya karena aku malas dan aku masih mencoba memikirkan ucapan Bu Nandar kemarin. Aku mulai mengerti mengapa Indra mengorbankan janji bualannya. Kemudian, ketika ia berkenalan, semua pun terdiam.

“Nama saya Anjani Pramesti. Saya biasa dipanggil Pramesti.” Demikian perkenalan singkatnya. Kemudian Pak Jaka guru Fisika kami memberi informasi tambahan. “Sekedar info, Pramesti ini adalah anak semata wayang dari Gubernur kita. Silakan duduk, Mbak Pramesti.” Lalu gadis yang cantiknya seperti malaikat itu pun memilih menghuni meja di depan kelas. Ketika ia bergerak mataku tak berhenti mengikuti gerak geriknya. Saat itu aku tahu, aku telah jatuh cinta. Cinta yang dahsyat, memabukkan tetapi terasa begitu indah. Kemudian, bagaikan tersihir, tiba-tiba muncul rencana dalam diriku. Rencana untuk menjadikan Pramesti menjadi milikku. Ia anak Gubernur? Mudah saja, karena Ayahku termasuk pegawai DPRD Surabaya sehingga pastinya mudah sekali berkenalan dengan Ayah Pramesti. Sekali kumenangkan Ayahnya, anaknya pun pastinya akan aku menangkan.

***

Aku terkejut melihat perubahan yang pasti ketika bertemu Indra di depan gerbang rumahku keesokan harinya. Indra menjadi rapi, tidak seperti berandalan jalanan yang merupakan gayanya yang biasa. Aku mulai membaui ini berhubungan dengan Pramesti, dan kecurigaanku menjadi lebih besar ketika melihat ia membawa satu potong bunga mawar putih. “Kau berbeda.” Komentarku saat melihatnya. Ia mendesah, lalu berkata “Gadis itu yang mengubahku Adit. Kecantikan dan keanggunannya membuatku sadar aku membutuhkan kekasih untuk melenyapkan malam-malamku yang selalu sepi.” Aku mendengus mendengar penjelasannya. “Aku tidak tahu ia bisa mengubahmu menjadi pujangga.” Ia lalu tertawa. “Kulihat ia tidak berhasil mengubahmu, kau tidak jatuh hati kepadanya?” Tanya Indra lagi kepadaku. Aku terdiam sebentar. Ingin kujelaskan bahwa aku juga jatuh hati kepada gadis itu, bahwa sebaiknya ia mundur dan mencari gadis lain untuk dijadikan kekasihnya karena aku benar-benar menginginkan Pramesti. Namun kemudian aku teringat pesan Bu Nandar kemarin pagi, dan aku pun tersadar. “Kurasa tidak. Aku masih ingin sengaja melajang.”

“Hei, bolehkah aku berkenalan denganmu?”

Aku menoleh dan kusadari aku terkejut melihat Pramesti sudah duduk di sampingku di kantin sekolah. Ia tersenyum, membuat dirinya menjadi lebih cantik. “Aku sudah tahu namamu.” Jawabku datar, berharap ia pergi. Namun ia masih duduk di sampingku. “Aku belum tahu namamu.”

“Semakin sedikit kau tahu soal diriku semakin baik.” Lalu aku beranjak pergi. Gadis itu masih berusaha mengejarku. “Oh ayolah. Apakah kau tidak berpikir aku cantik?” Lalu aku menatapnya tepat di manik mata, “gadis cantik tidak seharusnya menjajakan dirinya.” Ujarku pelan tetapi jelas. Hanya untuk memastikan ia membenciku dan tidak akan mendekatiku lagi. Saat itulah Indra melihat kami berdua. Sahabatku itu berjalan mendekati kami berdua. “Hei Pram, Hei Dit. Kalian sedang apa?” Pramesti menjawabnya, dengan senyum cantiknya, “Aku baru saja menemani Adit makan siang.” Lalu ia pergi dari kami berdua. Indra kemudian memandangku meminta penjelasan, “katamu kau ingin sengaja melajang.”

“Kau benar-benar berpikir aku mendekatinya? Indra, kau sungguh bodoh. Ketika aku berkata tidak maka memang tidak.”

“Tapi dalam hatimu kau juga menyukainya, bukan? Oh sungguh, ini sungguh dirimu yang klasik. Adit tentunya lebih memilih perasaannya terkorbankan dibandingkan martabatnya jatuh.” Aku memandangnya dengan tajam. Terkadang aku sangat membenci sahabatku ini. “Apa kau lupa ucapan Bu Nandar kemarin? Aku tidak ingin kita benar-benar menja—“

“Jadi itu yang kau takutkan? Sebuah pencerminan dari suatu cerita rakyat? Adit, kita tidak mungkin benar-benar saling membunuh hanya karena satu gadis cantik. Kekhawatiranmu mengkhawatirkan, kawanku.” Lalu ia pergi menjauh. Kusadari ucapannya ada benarnya, tetapi aku tidak bisa menghentikan kekhawatiranku itu. Aku khawatir karena sejujurnya jika sama-sama lepas kontrol, aku dan Indra bisa sangat membahayakan.

Ketika sepulang sekolah aku mengajak Indra segera pulang atau mungkin pergi ke lapangan futsal dengan teman-teman yang lain. Namun rupanya Indra punya rencana lain. “Aku ingin mengajak Pramesti menonton film. Aku sudah berjanji dengannya.” “Oh baiklah. Kurasa aku akan pulang sendirian.”

***

Aku terkejut ketika menyadari bahwa Indra meneleponku pukul sepuluh malam. “Iya, ada apa Indra?”

“Kau harus membantuku. Bisakah kau datang kemari?”

“Eh, sekarang? Kau sadar tidak ini jam berapa?”

“Maaf Adit, tapi kau harus membantuku saat ini. Aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu. Kumohon…”

Ada nada memohon dalam suara Indra, yang sangat jarang sekali kudengar. Kurasa ada yang tidak beres. Kemudian aku pun keluar kamar dan menyadari kedua orang tuaku pun belum pulang. Hanya ada aku dan pembantuku di rumah. Tanpa pamit aku pun mengambil jaketku lalu mengambil motorku di bagasi. Setelah bertanya posisinya, aku pun menyusul Indra.

“Sebaiknya alasanmu benar-benar bagus untuk memanggilku jam selarut ini ke tempat semenakutkan ini, Indra.” Lalu ia menoleh kepadaku. Ada sorot ketakutan dalam matanya. Sesuatu yang menandakan ada yang terjadi secara salah. “Apa yang kau perbuat?”

“Ia melarikan diri dariku, dan—dan ada bus kota menabraknya.” Ujarnya dengan nada getir. Aku terkejut melihat Pramesti Anjani, gadis cantik yang menjadi pujaan kami berdua, diam tergeletak di dekat kaki Indra. Kini, tubuh itu tak bernyawa, dan sosok cantik itu berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. “Astaga, Indra, apa yang kau perbuat???”

“I—ia tertabrak bus, Adit… Ya Tuhan apa yang harus aku perbuat? Oh ya benar, aku harus menguburnya. Ayo Adit, kau sahabatku atau tidak?”

“Indra, ini serius. Apa kau hanya akan menguburkan jenazahnya lalu berpura-pura tidak tahu ketika besok berita hilangnya Pramesti menyebar ke seluruh Surabaya? Kau masih berani melihat sosok Gubernur ketika ke rumahmu bertanya ke Ayahmu bagaimana kedekatan kalian berdua? Lagipula kenapa kau begitu ketakutan jika ia memang tertabrak bus?”

“Oh, jadi kau menuduhku membunuhnya??? Bagus sekali, Adit!!! Memang itu yang aku butuhkan!!!! Silakan menjadi musuhku dan menyalahkanku dan menuduhku!!! Silakan saja!! Lebih baik kulakukan semuanya sendirian!! Lebih baik kau pergi Adit, pergilah dan renungkanlah martabatmu yang kau jaga baik-baik itu!!!”

“Siapa yang berkata tidak ingin menolongmu? Berhenti meracau seperti itu!!! Tapi bisakah kau menceritakan hal yang sebenarnya terjadi?”

“Bisakah kita menyingkirkan tubuhnya terlebih dahulu? Semakin lama ia tidak dikubur semakin mencurigakan!” Kemudian kami pun menguburkan jenazah Pramesti dengan cepat dan dalam diam karena kami tidak ingin ada seseorang yang tahu apa yang kami lakukan.

“Kau sadar `kan berita hilangnya gadis itu akan menjadi berita heboh besok? Dan bukan tidak mungkin orang tuanya mengerahkan detektif-detektif hebat dalam mengerjakan kasus ini.” Kami sudah beristirahat di suatu tempat yang agak jauh dari kuburan itu, ke tempat yang juga sama sepinya karena kami tidak ingin ada yang menguping kami. Indra masih kelihatan takut. Mukanya sepucat jenazah Pramesti. “Indra, ceritakan padaku apa yang sesungguhnya terjadi. Aku sahabatmu, aku bisa mengerti segala kesalahan dan kekeliruanmu. Aku tidak akan menghakimimu. Kau bisa percaya kepadaku.” Maka Indra pun menceritakan semuanya; tentang bagaimana ia tadi menghabiskan siangnya dengan Pramesti, tentang Pramesti yang dengan terang-terang mengatakan bahwa ia sebenarnya ingin siang itu juga ditemani diriku. Tentang penolakan Pramesti, tentang Indra yang kecewa dan tidak bisa menerima fakta bahwa Pramesti memang menyukai diriku. “Sebenarnya jam 6 sore tadi ia sudah berkeras untuk pulang tetapi aku masih tidak ingin ia pergi. Oleh sebabnya aku bertindak bodoh dan mengajaknya ke hotel dekat mall itu. Ia segera mengetahui maksudku saat ia tahu aku mengajaknya ke mana. Ia lalu berlari tapi aku tidak melepaskan tangannya. Hal yang aku tahu berikutnya adalah ia di jalan raya dan tiba-tiba ada bus kota yang menerjangnya.”

Aku terkejut. Aku tidak mengira hingga seperti itu yang sesungguhnya terjadi. Apakah banyak yang melihat kejadian itu?” “Mereka hanya melihat Pramesti tertabrak bus, tidak ada yang melihat ia sebenarnya melarikan diri dariku.” Kami pun terdiam lama. Kejadian ini benar-benar mengubah semua hal. “Demi kebaikanmu sendiri, Indra, melaporlah ke polisi. Sebelum semuanya menjadi lebih buruk.” Ia masih saja membisu. “Ayo bung, kita harus pulang. Besok pagi kutemani kau ke kantor polisi.”

***

Berita hilangnya Pramesti Anjani memang menjadi berita besar. Keesokan paginya ada 2 polisi di sekolah kami, menyisir keadaan dan bertanya dengan siswa siswi di kelasku. Aku dan Indra berusaha bertindak normal, tetapi kami juga menghindari kedua polisi itu. Kami hanya terlalu malu jika di depan teman-teman kami. Setidaknya itu yang aku pikirkan. Aku berjanji menemani Indra ke kantor polisi sepulang sekolah. Aku yakin ia tidak akan dianggap bersalah dan jika dianggap bersalah hukuman jika ia menyerahkan diri pastinya lebih ringan jika ia tertangkap melalui pengusutan detektif.

Sepulang sekolah, aku mengikuti ia keluar dari kelas. Tiba-tiba ia hendak pergi ke toilet sebentar dan menyuruhku mengambil motorku lebih dahulu. Aku pun menuruti kemauannya, dan kutunggu dirinya cukup lama di dekat pos satpam sekolah. Tiba-tiba saja saat aku melihat-lihat ke parkiran dalam, keluarlah kedua polisi yang tadinya menginterogasi siswa siswi di kelasku. Mereka berjalan ke arahku, dan aku pun berusaha sopan dengan tersenyum kepada mereka. Sayangnya mereka tidak tersenyum, membuatku merasa ada yang salah. Salah satu dari mereka pun mulai berbicara.

“Anda bernama Aditya Nugraha?”

“Iya, benar Pak.”

Mereka pun terdiam sebentar, kemudian tiba-tiba saja mereka menyuruhku turun dari motorku.

“Harap ikut kami ke kantor polisi pusat. Anda diduga menjadi pelaku pembunuhan saudari Pramesti Anjani.”

Aku terkejut. Apa-apaan ini?? Aku bahkan tidak bersama gadis itu ketika ia meninggal! “Pak, saya tidak bersalah!!! Anda—“

“Kita urus semuanya di kantor polisi!”

Aku menoleh ke arah parkiran dengan panik. Mataku mencari-cari sosok yang seharusnya sudah berada di sini, bersamaku, membantuku. Namun sosok itu tidak ada. Akhirnya, aku pun dibawa ke kantor polisi. Kedua polisi itu menawarkan apakah aku ingin orangtuaku hadir di sana, tetapi aku menolak. Aku tidak ingin Ayahku membantuku menyelesaikan perkaraku. Lagipula, aku tidak bersalah. Seharusnya ini akan menjadi mudah. Namun hal itu ternyata tidak mudah, karena malam itu ternyata ada saksi mata yang melihat aku dan Indra menguburkan jenazah Pramesti. Akhirnya aku pun menceritakan semuanya, dan perlu kuulangi hingga 3 kali agar kedua polisi itu benar-benar percaya kepadaku, sebab saksi mata itu hanya melihat kami berdua, tidak mendengar apa yang kami katakan. Kemudian mereka pun hendak mencari Indra, dan aku pun berkeras untuk ikut dengan alasan untuk mempermudah pencarian. Benar saja, dugaanku tentang di mana Indra pun benar.

“Kau memang menyebalkan, Indra!!!!” Aku sudah tidak mampu menahan emosiku lagi. Kedua polisi yang mencari kami pun segera turun, takut kami akan bersitegang. Namun aku sudah tahu hal itu sudah tak terelakkan lagi. Indra yang sudah setengah jalan menuju bus antar kota jurusan Solo itu menoleh kepadaku kemudian turun lagi. “Aku tidak bersalah, oke!! Aku tidak berniat untuk membunuhnya atau melukainya!!”

“Dan kau hanya akan lari dari tanggung jawabmu?? Dan melimpahkan semua kesalahan ke aku?? Kau sungguh berengsek!!! Kau-lah yang menyebabkan ia terbunuh!!! Jika ia tidak berlari darimu ma—“ tiba-tiba ia merangsek maju dan menghantamku tepat di hidungku, kemudian saat aku masih lengah ia juga menyerang perutku dengan membabi buta. Aku terperengah, kaget tetapi masih bisa mengendalikan diriku. Aku kemudian berdiri setelah jatuh terduduk dan membalas semua serangannya. Nyatanya, kami sama-sama petarung tangguh. Kami selalu menjadi panglima perang ketika terjadi tawuran antar sekolah. Kami pun sama-sama mengikuti banyak latihan fisik. Ketika dua kekuatan yang sama-sama besar ini bertubrukan, kekuatan ini hanya akan melukai kami. Dan jika diteruskan, ini pastinya akan me—

***

Gelap.

Hanya gelap. Pun tidak ada setitik terang.

Sunyi, hening. Keheningan yang menyesakkan. Aku pun tak tahan. Aku terbangun dan berlari. Aku sudah lupa aku berada di mana. Terakhir sepertinya aku bertarung dengan Indra, tapi apakah mungkin? Bukankah kami sudah seperti dua saudara?

Lalu, terang pun muncul. Diiringi dengan kehadiran banyak orang. Mereka berlari ke arahku, tetapi mereka bahkan tidak melihatku. Nyatanya, semua orang berlari ke belakangku, tempat aku terbangun tadi. Aku pun mengikuti mereka, mencoba bertanya kepada semua orang apa yang terjadi. Aneh, tidak ada yang mendengarku. Kemudian pemandangan paling ganjil memasuki mataku. Kulihat aku dan Indra terbaring tak berdaya di jalan beraspal terminal kecil ini. Tak hanya tak berdaya, banyak darah keluar dari tubuh kami. Aku pun mulai menyadari apa yang terjadi. Tidak, aku tidak mungkin sudah meninggal. Tidak, aku tidak mungkin membunuh Indra, dan Indra pun tidak mungkin sudah membunuhku. Tidak, tidak mungkin!!! Tidak, tidak, TIDAAAAAK!!!!!!

Aku berteriak putus asa, sekuat-kuatnya tetapi tidak ada satu orang pun yang mendengarku. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Aku pun menoleh dan Indra telah berdiri bersisian denganku. Ada awan di matanya, dan aku pun tahu ada awan di mataku. Kabut kami sama. Ia mulai menangis dan aku pun juga. Kami pun berpelukan, pelukan erat layaknya teman dekat. Ia lalu mengajakku, untuk pergi. Untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Karena kami tahu, Tuhan telah menunggu kami sejak kami berdua mengubur jenazah Pramesti Anjani.

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading