Menyelesaikan Gulag Archipelago memberi pengalaman berbeda bagi saya. Buku tebal itu seperti menunjukkan (dengan getir dan sindiran halus) betapa miripnya pola pikir pemimpin Indonesia dengan pemimpin Uni Soviet. Kemiripan ini tidak dilihat dari pengambilan keputusan yang konyol maupun kekejamannya, tetapi dari pola pikirnya.

Sejak halaman pengantar edisi Mata Angin, penerjemah Gulag Archipelago menceritakan jika komunisme Uni Soviet harus mampu berdikari, mencukupi dirinya sendiri. Dua hal tersebut kemudian diakomodasi secara hukum lewat Pembangunan Lima Tahunan oleh diktator Soviet, Joseph Stalin.

Lantas, jika Stalin memiliki Pembangunan Lima Tahunan, Indonesia pun juga memiliki Rencana Pembangunan Lima Tahun (Rapelita) oleh Soeharto, betapa mirip. Kemiripan selanjutnya adalah melihat pola pikir pendahulu Stalin, Vladimir I. Lenin, memiliki pola pikir tak jauh berbeda dengan Soekarno, founding father Indonesia.

“Semua sejarawan sudah paham sekarang jika Vladimir I. Lenin bukan mewujudkan komunisme Marx, malah justru membelokkan ajaran Marx demi kepentingannya sendiri, mengkomuniskan Rusia yang masih belum siap menjadi komunis — bahkan sistem pemerintahan Tsar Rusia kala itu masih belum sempat meraih fase demokrasi. Gulag sebagai ide ‘pembersihan’ Lenin dari lawan-lawan politiknya, kalau begitu, adalah penyimpangan dan pembelotan dari ide Marx, dan para Marxis ortodoks yang royal kepada Communist Manifesto menentangnya habis-habisan tapi mereka semua dijebloskan ke dalam penjara, dieksekusi, atau lari ke Eropa Barat.”

hal xvii

Sejak bab pertama pun, kondisi tak masuk akal di Soviet ibarat kondisi dalam negeri, terlalu mirip. Hal ini contohnya adalah kondisi buruh di Soviet yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

“Namun para buruh itu benar-benar tidak merespons, mereka tidak paham siapa yang perlu dibela dari siapa, dan mengapa mereka membutuhkan hak-hak semacam itu. Ketika juru bicara Partai menegur kemalasan mereka itu menyelesaikan konflik dan membuat perselisihan kian bertambah, dan menuntut pengorbanan dari mereka — yaitu kerja lembur tanpa dibayar, mengurangi jatah makanan, melakukan disiplin militer di dalam administrasi publik — justru itu memunculkan kelegaan besar dan tepuk tangan dari mereka. Kita, kalau begitu, hanya tinggal menerima semua warisan mereka itu sesudahnya.”

bab 1 catatan kaki halaman 16.

Konflik dalam satu kelas yang sama dipelihara dan dibiarkan tumbuh agar perjuangan mereka tidak sama. kondisi ini dipelihara sistem agar masyarakat lelah menuntut hak hidup yang lebih baik.

Kondisi Soviet yang menangkapi orang dengan sembarangan juga mirip dengan Indonesia, seperti tercermin dari tulisan Alexander Solzhenitzyn di halaman 29:

“Sedangkan di Novocherkassk pada tahun yang sama, mereka menembak istri seorang perwira yang tengah hamil karena menyembunyikan suaminya. Ke dalam klasifikasi apa kasus ini sebaiknya diletakkan?”

halaman 29

Beberapa kondisi penjarahan dan penyitaan harta pribadi di Soviet ternyata setelah ditelusuri memiliki beberapa cipta kondisi yang sama dengan di Indonesia. Hal ini tercermin saat Solzhenitzyn menceritakan tentang pajak dan New Economy Power (NEP) di halaman 63:

“Sejak tahun 1928 dan seterusnya, tiba waktunya untuk membersihkan mereka yang mendukung gaya hidup borjuasi — para pemuja NEP (New Economy Power). Praktik yang lazim adalah menetapkan pajak-pajak yang terus meningkat angkanya, sampai akhirnya tidak bisa dibayar sama sekali. Di titik ketika mereka tidak lagi bisa bayar, mereka langsung ditangkap karena bangkrut, dan semua harta milik mereka disita. (Para pedagang kecil seperti tukang cukur, penjahit, bahkan tukang reparasi kompor, hanya diambil hak mereka berdagang.)
Terdapat satu tujuan ekonomi bagi pembentukan gelombang orang-orang NEP ini. Negara membutuhkan harta benda dan emas, namun belum ada Kolyma.”

halaman 63

Pajak yang terus ditingkatkan ini sudah terjadi di Indonesia, apakah kami harus mengalami harta-harta pribadi disita?

Kekejaman Gulag

Meski begitu, saya bersyukur Indonesia tidak menerapkan sistem Gulag. Kekejaman di dalamnya dan menuju ke sana tidak dapat dimaklumi. Berbagai siksaan yang diberikan para interogator tidak masuk akal, bahkan bisa membuat orang gila.

Beberapa bagian yang mencantumkan antara lain:

Pada tahun 1937-1938, dengan mempertimbangkan situasi luar biasa yang terjadi, para penginterogasi dibolehkan untuk menggunakan kekerasan dan siksaan tanpa batas. Jenis-jenis siksaan yang digunakan tidak diatur, dan setiap jenis gagasan dibolehkan, yang penting berhasil.

halaman 120

Dapat dikatakan kalau tidak boleh tidur menjadi metode yang universal di dalam Organ. Dari antara banyak siksaan, ini menjadi bagian integral dari sistem Keamanan Negara; ini adalah metode paling murah, tidak membutuhkan banyak alat dan kerumitan.

halaman 138

Interogasi dilakukan dengan penyiksaan, paling efektif lewat memberi tempat tinggal tidak manusiawi, kelaparan, membuat tahanan lemah dan mengaku.

Sepertinya hampir seperti dongeng bahwa di suatu tempat, di ujung bumi, seorang terdakwa dapat dijauhkan dari bantuan pengacara. Itu berarti bahwa di momen hidup yang paling sulit, Anda memiliki seorang sekutu yang berpikiran jernih yang tahu persis isi hukum.
Prinsip interogasi kami terdiri atas menghilangkan terdakwa bahkan dari pengetahuan sekecil apapun tentang hukum yang sudah menjeratnya.

halaman 149

Kebiadaban Gulag juga terasa saat tahanan takut membicarakan peristiwa-peristiwa dalam hidup mereka sementara dari para tentara yang ditahan, tentunya iri melihat penjahat Nazi telah diadili di pengadilan Jerman Barat. Solzhenitzyn pun menyimpan semua peristiwa-peristiwa jahat tersebut sebagai catatan kejahatan negara kepada rakyatnya.

Cara Solzhenitzyn menceritakan jahatnya Motherland berpikir jika tentaranya berkhianat sangatlah getir dan menyakitkan.

“U.S.S.R juga tidak mengakui Palang Merah Internasional. U.S.S.R bahkan tidak mengakui para tentaranya sendiri jika sampai tertangkap: mereka tidak pernah berniat memberikan bantuan apa pun.
Motherland yang mengkhianati prajurit-prajuritnya sendiri.”

halaman 269

“Bukan mereka, orang-orang yang malang, yang sudah mengkhianati Motherland, melainkan Motherland yang suka berhitung-hitung, itulah yang sudah mengkhianati mereka, dan bukan hanya sekali, tapi tiga kali.”

halaman 293

Gaya memanggil negara dengan sebutan Motherland — Ibu Pertiwi, bukankah itu mirip sekali dengan nasionalisme di Indonesia? Tapi tentunya Motherland tak perlu capek-capek mengingatkan masyarakatnya atas kekalahan nasib bangsa di masa lalu, seperti yang terulang di Borodino.

Dalam Gulag Archipelago, Solzhenitzyn menceritakan jika bangsa Soviet mengulang kesalahan di Borodino, lupa dengan apa yang pernah ditulis oleh Leo Tolstoy mengenai perang Borodino melawan Napoleon Bonaparte. Borodino tahun 1941 menjadi titik Hitler masuk ke Soviet, mengulang tahun 1812 saat tempat itu menjadi titik penting Napoleon menyerang Rusia. Namun pasukan Soviet justru dianggap pengkhianat negara.

Betapa ironis saat tentara yang memperjuangkan nasib negara justru dianggap pengkhianat dan tidak diberi posisi lebih baik. Hal ini adalah salah satu dari banyak bentuk paranoid dan kegilaan Stalin yang konon juga memilih membiarkan anaknya menjadi tahanan perang di negara lain.

Tentunya dengan tentara yang tercerai berai dan saling memusuhi satu sama lain, pasukan Nazi mendapatkan banyak keuntungan. Perang justru dinilai Solzhenitzyn sebagai cara memberi tahu bahwa hal terburuk di dunia adalah menjadi orang Rusia. Semua ini dapat dicegah jika pemimpin negara tidak memperlakukan buruk para tentaranya.

Dalam bab-bab berikutnya, pembaca diajak menyederhanakan hukum-hukum yang telah berlaku di era Soviet. Membaca hukum ini dilakukan dari berbagai kasus hukum yang ditangani di negara tersebut. Banyak kasus yang berasal dari keresahan yang sama seperti di Indonesia dan ditangani dengan cara yang tidak jauh berbeda pula.

Salah satu kasus yang ingin saya soroti adalah kasus Pusat Taktis (halaman 399).

“Namun ketika kaum cendekia memberikan sumpah setianya bagi perjuangan kaum buruh dan pekerja, mereka pun menjelma menjadi diktator? Ejekan terhadap kaum cendekia ini, penghinaan terhadap mereka, akhirnya diadopsi dengan antusias oleh para pewarta dan koran-koran pada tahun dua puluhan, dan diserap ke dalam hidup sehari-hari masyarakat. Pada akhirnya, para anggota cendekia menerima juga kondisi ini, mengutuki kebodohan kekal mereka sendiri, dualitas abadi mereka, kepengecutan kekal mereka, dan hilangnya semua harapan mereka ditelan masa yang sudah lenyap.”

halaman 399

Cendekia tiba-tiba menjadi musuh, karena cendekia secara tidak langsung menyebarkan Revolusi Rusia. Cendekia tahu jika Stalin menggunakan pemikiran orang sebagai caranya berkuasa. Namun kebencian terhadap cendekia sudah ada sejak Lenin berkuasa, seperti yang terjadi pada kasus Glavtop.

Kasus tersebut menyudutkan insinyur karena mereka berpihak kepada pergerakan. Polisi kemudian digerakkan untuk membuat mereka bersalah, padahal bukti kebersalahan mereka adalah dengan memanipulasi semua pekerjaan para insinyur tersebut.

Selain cendekia dan insinyur, Lenin juga menyudutkan pemuka agama, yaitu para pendeta-pendeta di gereja. Kasus yang kemudian bergulir adalah ketika terjadi kelaparan di suatu daerah dan gereja-gereja didesak negara untuk memberikan kekayaan mereka mengatasi kelaparan tersebut. Bukankah seharusnya hal itu menjadi tugas negara?

“Kami sudah berkesempatan mengamati bahwa pemisahan gereja dari negara juga disetujui oleh negara sehingga gereja itu sendiri dan semua hal yang bergantung kepadanya, dipasang ke dalamnya dan dilukiskan di dalamnya, menjadi milik negara, dan satu-satunya gereja yang masih bisa disebut gereja adalah, seperti yang tertulis di dalam Alkitab, berada di dalam hati.”

halaman 414

Negara justru menjadi institusi yang memisahkan warganya dari agama dan keyakinan masing-masing. Agama justru diperalat menjadi alat menjaga ketertiban, membuat masyarakat tak lagi percaya dengan pemuka agama. Dan satu-satunya agama yang bisa kita sebut agama adalah yang berada di dalam hati.

Kemiripan Stalin dengan Joko Widodo

Stalin juga memiliki banyak kemiripan dengan Presiden Indonesia Joko Widodo, bahkan lewat buku ini faktor pembeda mereka hanyalah Gulag dan anak karbitan. Kemiripan ini dilihat dari bagaimana keduanya berhasil memelihara sifat fasis dan ultra nasionalis dari para pendukungnya.

Namun kemiripan selanjutnya adalah fakta jika Stalin memelihara preman untuk melanggengkan kekuasaannya, tidak heran karena Stalin sendiri juga merupakan preman. Jokowi bukanlah preman, tapi orang-orang di sekitarnya berasal dari dunia yang sama.

“Di dalam karya-karya dari abad sebelumnya, para proletariat dikritik karena tidak punya disiplin, selalu terbawa perasaan. Dan Stalin selalu berpihak kepada para pencuri — bagaimanapun, siapa lagi 1901, kamerad-kameradnya di Partai dan di penjara menuduh dia sudah menggunakan para kriminal umum untuk melawan musuh-musuh politiknya. Sejak tahun dua puluhan, istilah ‘sekutu masyarakat’ mulai digunakan secara luas. Itulah maksud Makarenko juga: semua ini dapat direformasi.”

halaman 606

Lanjutannya di halaman 607:

Bahkan lebih dari itu: setelah bertahun-tahun mendukung para pencuri, para penjaga konvoi tahanan akhirnya tergelincir di dalam semua tindakan mereka. Para penjaga itu sendiri ikut-ikutan menjadi pencurinya.

halaman 607

Stalin (dan Jokowi) mungkin tidak menyadari jika gaya kepemimpinan barbar dan kejam mereka akhirnya melahirkan penurunan moral di masyarakat. Kasus ini sudah sangat ekstrim di Soviet dengan Solzhenitzyn menyadari jika generasi baru Soviet telah melupakan sejarah, tidak tahu apa-apa, dan terpecah belah. Akankah Indonesia seperti ini?

Surakarta, 21 Maret 2024

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading