Ulasan Singkat Telegram – Putu Wijaya

“Seorang anak lahir, sehat dan memberikan kesenangan juga membutuhkan sebuah telegram. Beribu-ribu orang mati juga menghasilkan telegram.”

Telegram – Putu Wijaya

Telegram adalah novel yang mengkritik kehidupan para lelaki bajingan di dunia, dan yang paling bajingan adalah si Aku, mati-matian ingin jadi pahlawan saat kenyataannya dia hanyalah wartawan kebingungan menderita penyakit kelamin.
Novel berlatar tahun 70-80an, era ketika kabar cepat dan mendadak hanya disampaikan dengan telegram karena mendesak.

Telegram membawa momok besar bagi si Aku, karena menurutnya hanya kabar mengerikan yang disampaikan telegram. Kabar tersebut selalu menyudutkannya. Sesuai dengan latar belakang Putu Wijaya, si Aku adalah pria Bali yang merantau ke Jakarta menjadi wartawan. Dia membawa semua amarahnya karena kungkungan adat Bali dan kritik untuk pembangunan Pulau Dewata, menjadikannya selalu melawan dan melawan.

Si Aku selalu berkata kemajuan Bali dengan wisatanya masih saja berputar2 seperti masalah adat istiadatnya yang membelenggu, tapi setelah membaca buku ini menurutku sebagai pembaca, si Aku juga terbelenggu rasa perlawanannya, tidak menyadari dia juga hanya berputar2. Si Aku memiliki pacar yang dipacarinya selama tiga ribu kali. Dia mengatakan setelah lebih dari itu rasanya sudah berbeda dan perlahan berubah menjadi benci, hingga akhirnya dia sadar PACARNYA HANYALAH HALUSINASINYA.

Dia berpacaran dengan sosok bayangan karena si Aku itu gila. Si Aku bujang, tapi mengangkat anak pungut jadi anaknya yang memanggilnya papa. Lambat laun si Aku yang bajingan ini ternyata hanya ingin menjadi sosok pahlawan, memiliki sosok yang bergantung dan berutang budi kepadanya. Si Aku melawan, tapi si Aku kesepian. Kegilaannya adalah bentuk depresinya.

Di akhir buku dia menyadari, keinginannya bunuh diri hanyalah bentuk lain dari sifat pengecutnya. Dia tidak kuat, dia lemah, dia manja, dia tidak bisa mengambil keputusan apapun, termasuk kapan mengakhiri hidupnya. Namun, perjalanan hidup si Aku menjadi lebih baik. Momoknya terhadap telegram berubah saat dia menyadari jika ada kematian akan ada kehidupan. Cara Putu Wijaya menutup cerita dengan sosok Aku berbicara dengan masa lalunya dan menganggap ide mengakhiri hidup sebagai hal membosankan terasa begitu apik dan menyegarkan.

Kritik terhadap Bali adalah kekuatan kedua Telegram. Sangat menyenangkan membaca karya sastra Indonesia membawa kritik sosial terhadap pembangunan di luar Jawa.

“Kami selalu mengejek mereka sebagai orang kampung. Tetapi ternyata mereka lebih bisa menikmati uangnya, persaudaraannya, daripada kami yang tinggal di kota-kota di Bali, yang maju tidak, mundur juga tidak.”

“Bayang-bayang tentang Bali, baik sebelum atau sesudah disaksikan sendiri oleh para pelancong, biasanya sedikit melupakan, bahwa Bali bukan hanya Denpasar dan Ubud; bukan hanya rentetan upacara-upacara dan tarian-tarian yang magis dan enerjik. Bali adalah juga kedelapan buah kabupatennya, seluruh penduduknya, kemiskinan dan tuntutan-tuntutannya, kebutuhan-kebutuhannya untuk memasuki zaman dengan segala perubahannya. Karena kalau tidak demikian, ia hanya akan merupakan sebuah musium atau pertunjukan sandiwara.”

Dalam buku ini si Aku memimpikan meniduri ibunya sendiri. Jika sudah membaca karya2 Putu Wijaya yang lain, dia beberapa kali menyinggung incest seperti di Putri atau Pabrik. Menurutku, incest menjadi simbol hasrat terbelakang yg masih menghantui warga Bali. Putu dengan tegas mengkritik hal tersebut yang dianggapnya simbol keterbelakangan.

Kemagisan Putu Wijaya terasa ketika dia menuliskan beberapa kalimat seperti:

"Betul-betul cinta kami bukan hanya pelampiasan berahi."
"Lebih enak jadi orang awam saja, yang berlumuran dengan segala kemungkinan."
"Aku seperti terbakar oleh sepi."
"Ajaib, setelah tiga ribu kali pacaran, ia hidup dan lepas."
"Rasanya seperti memasuki kematian."

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading