Kolonialisme dan Realisme Magis yang Mengebirinya

Saya selesai membaca The High Mountains of Portugal dan One Hundred Years of Solitude pada circa 2022. Membaca keduanya seperti pengalaman menyenangkan dan mengenyangkan. Karya Yann Martel saya baca terlebih dahulu dibandingkan magnum opus Gabriel Garcia Marquez tersebut. Setelah selesai membaca keduanya, saya lantas berpikir realisme magis sebatas cara menceritakan adanya sihir tak tentu di kehidupan sehari-hari. Agaknya, pemikiran saya itu belum sepenuhnya matang dan masih salah.

Gabo tentu tidak mendapatkan Nobel Sastra untuk One Hundred Years of Solitude hanya karena dia menceritakan klenik-klenik kehidupan yang dia lihat sehari-hari. Tentunya ada makna menempatkan tiga simpanse sebagai tokoh menarik di tiga kisah dalam The High Mountains of Portugal. Namun, apa benang yang menghubungkan keduanya?

Realisme magis bukanlah hanya sekadar menceritakan keajaiban atau sihir di kehidupan sehari-hari, tetapi lebih kepada penggunaan elemen magis untuk menggambarkan aspek-aspek kehidupan yang lebih mendalam, seperti kematian, cinta, atau kehidupan setelah kematian. Gabo dan Martel sama-sama menggambarkan makna kehidupan yang mendalam melalui penggunaan elemen magis dalam karya-karya mereka.

Baru saya sadari, kedua buku tersebut sarat akan kritik sosial. Gabo secara gamblang menceritakan kekejaman pembantaian massal perusahaan pisang yang terjadi setahun setelah dia lahir. Magis yang dia tempatkan dalam cerita itu menurut saya adalah betapa warga Macondo menginginkan modernitas tetapi hal itu datang dengan taruhan nyawa.

Tidak dipungkiri, Kolombia adalah bangsa kreol (creole) di mana leluhur mereka merupakan bangsa kolonial Spanyol yang menikah dengan bangsa asli tanah di Amerika Selatan tersebut. Itu juga sebabnya mengapa mereka semua berbahasa Spanyol. Macondo disebut-sebut sebagai tanah tempat Gabo lahir, Aracataca. Kedekatan Gabo dengan sejarah yang menjadi plot cerita One Hundred Years of Solitude adalah magis berikutnya, karena Gabo melihat semua yang dia tuliskan di buku tersebut.

Itu sebabnya One Hundred Years of Solitude penuh dengan kritik sosial. Di sinilah pentingnya memahami, jika realisme magis tetap bertujuan menceritakan kenyataan diiringi kritik lewat penyampaian yang di luar nalar. Lambat laun, Macondo semakin tidak dapat ditinggali hingga akhir cerita tersebut menyampaikan akhir tanah Macondo. Dengan itu, Gabo mengatakan jika bangsa kreol hampir habis karena modernitas mungkin tidak akan menyentuh mereka.

Pemahaman ini mirip dengan kisah kota hantu yang menjadi inspirasi Gabo, yaitu Pedro Paramo yang ditulis oleh Juan Rulfo. Cerita pendek mengenai pencarian sosok ayah yang hilang guna melunasi utang kepada sang ibu membuat tokoh utama menyadari kota yang didatanginya tidak lebih dari kota mati yang ditinggali hantu.

Kedekatan dengan tempat menjadi realisme magis yang nyata: Meksiko dan Kolombia masih banyak tertinggal saat kedua penulis melahirkan karya mereka. Apakah nasib kota-kota di sana hanya akan hilang dan menjadi kota mati?

Tempat juga menjadi aspek penting dalam cerita yang lebih modern, The High Mountains of Portugal. Martel membuat tiga kisah dengan satu lokasi: Pegunungan Tinggi Portugal. Namun tidak hanya itu, ada satu tokoh menarik di dalam tiga kisah: simpanse. Awalnya, saya sulit menemukan kaitan satu tempat dengan satu hewan. Saya hampir menyerah memahami karya salah satu penulis favorit saya tersebut.

Hingga akhirnya, diceritakanlah jika simpanse di cerita pertama hadir sebagai salib di sebuah gereja pegunungan tinggi Portugal. Hal itu dilakukan oleh seorang pendeta yang melihat sendiri bagaimana kolonialisme Portugis dilakukan di Afrika: menempatkan simpanse dengan masyarakat lokal.

Ada banyak naskah yang menceritakan cara masyarakat Eropa kolonial mengkelaskan manusia di Afrika, Asia, dan Amerika. Pengkelasan ini merupakan langkah ekstrim yang mencocoklogikan teori evolusi Darwin (ilmuwan Eropa era kolonial) sebagai pembenaran bahwa kolonialisme perlu dilakukan untuk membawa masyarakat daerah-daerah yang terbelakang tersebut menjadi terdidik dan tidak ‘hidup layaknya hewan’.

Simpanse di ketiga kisah Martel menjadi kritiknya terhadap bentuk pembenaran kolonialisme ekstrim yang terus dilakukan bangsa-bangsa Eropa. Mereka diceritakan memiliki sifat yang lebih manusiawi dibandingkan manusia. Portugal adalah kritik kedua, karena kolonialisme dimulai di Eropa.

We are a risen apes, not a fallen angels.

The High Mountains of Portugal – Yann Martel

Dengan ini, realisme magis adalah alat yang mengebiri kolonialisme. Imaji liar para penulis ibarat pedang yang diasah untuk memangkas sisa-sisa kolonialisme.

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading