Kataomoi

Aubrey menelungkupkan wajahnya di antara bantal-bantal di kasurnya. Tak jauh darinya ponselnya sibuk berdering, telepon dari sahabatnya, Lavinia. Oh, pasti Lavinia ingin menanyakan kabarnya. Dan itu masalahnya, Aubrey tidak sedang baik-baik saja, terlebih setelah menerima kabar di grup chat kuliah mereka.

Akhirnya dengan usaha luar biasa besar, Aubrey mengangkat telepon Lavinia itu.

“Aubrey! Aku sudah meneleponmu berulang kali!”
“Aku tidak ingin berbicara dengan siapapun.”
“Ouch, hentikan.”
“Tidak, Lavinia, telepon aku ketika aku sudah siap. Aku sedang tidak ingin menghadapi apapun.” lalu Aubrey menutup telepon tersebut.

Dibukanya kembali grup chat Signal yang kini ramai setelah sejam yang lalu Dmitri mengirimkan undangan pernikahan ke grup itu.

Undangan pernikahan Dmitri….

Maka kisah lama Dmitri dan Aubrey yang masih terpatri di hati wanita itu pun kembali muncul dalam pikirannya.

Dmitri, sosok yang saat ia kenal masih seperti cowok kikuk yang baru berusaha mengenal perempuan. Pertama kali mereka bertemu di acara kuliah ketika mereka masih sama-sama semester pertama. Mereka berkenalan dan tak lebih dari 10 menit Dmitri mengatakan keinginannya untuk bertemu pemimpin-pemimpin dunia.

“Aku akan senang bertemu dengan Evo Morales, tapi pastinya menjadi kehormatan buatku bertemu dengan Vladimir Putin.”
“Dan untuk apa kau bertemu dengan mereka?”
“Entahlah, mungkin berbicara tentang komunisme.”
“Apa? Evo Morales itu siapa?”
“Dia Presiden Bolivia.”
“Lantas apakah ia penganut komunisme?”
“Kurasa demikian. Atau bertemu dengan Vladimir Putin sajalah.”
“Rusia bukan lagi negara komunis! Kau mengada-ada!” ujar Aubrey yang sebal tapi gemas dengan cara Dmitri mengajaknya bercanda. Aneh saja menurutnya, bahkan mereka tidak mengambil kuliah tentang politik dan ideologi negara, mengapa Dmitri justru mengajaknya berbicara hal-hal serumit itu?

Kali lain ketika mereka bertemu sewaktu kuliah, Dmitri pun menggoda Aubrey. “Hey Aubrey, ajariku tentang khazanah dunia.”
“Apa?”
“Kuanggap kau bagaikan profesor.”
Aubrey terhenyak, lantas ia tertawa. “Dmitri, sudah berapa lama kau memikirkannya?”
“Sejak kita pertama kali bertemu,” jawabnya. Aubrey terkesan tapi hanya sekilas saja. Baginya Dmitri hanya sosok yang selalu mengajaknya bercanda atau mentertawakan kehidupan. Namun ia senang Dmitri menganggapnya pintar, karena terkadang Aubrey tidak menganggap dirinya seperti itu.

Namun keberadaan Dmitri bagi Aubrey menjadi penting ketika Aubrey memutuskan berhenti berpacaran saat kuliah. Ya, Aubrey terkenal sebagai gadis yang memiliki pacar banyak, hal itu kemudian berhenti ketika Aubrey memutuskan berhenti berpacaran dengan semua pacar-pacarnya, yang segera diketahui Dmitri.

“Kau memutuskan semua pacarmu?” Tanyanya suatu ketika saat mereka hanya berdua.
“Dari mana kau tahu?” Tanya Aubrey penasaran.
“Semua orang membicarakannya, Aubrey.”
“Gila. Apa pula kepentingan mereka membicarakannya?” Tanya Aubrey bingung. Dmitri tiba-tiba tertawa lalu mengatakan satu hal yang sangat diingat Aubrey.
“Kurasa bagus untukmu.”
“Kurasa mengetahui orang-orang berpikir aku gemar mempermainkan orang lain tidak begitu bagus untukku, Dmitri.”
“Siapa yang berpikir demikian? Aku tidak.”
“Eh?”

Namun Dmitri sudah melangkah pergi dari tempat itu, meninggalkan Aubrey sendirian yang bingung mengapa Dmitri mengatakan hal itu.

Pertemanan Dmitri dengan Aubrey tetap awet bahkan sampai mereka lulus. Mereka juga wisuda bersama, sehingga mereka merasa pertemanan mereka akan baik-baik saja. Namun ada yang berubah sejak mereka lulus. Perasaan mulai memberangus. Diam tapi pasti, ada tanya terpatri. Seperti ketika mereka mengunjungi kampus lama mereka di hari Minggu untuk wisuda teman-teman mereka yang lain. Mereka pun bertemu, tapi tiba-tiba Dmitri merutuki Aubrey.

“Kau tidak bilang akan pergi ke luar negeri!”
“Hah? Bagaimana kau bisa tahu?”
“Ilyas memberitahuku. Sekarang, kenapa tidak mengatakannya kepadaku?”
“Eh, haruskah aku memberitahumu?” Tanya Aubrey bingung. Aku hanya akan pergi dengan Ayahku untuk mengunjungi Ibuku selama 9 bulan, itu saja.”
“Dan jika kau bertemu orang lain?”
“Apa maksudmu orang lain?” Aubrey makin bingung. Tampak Dmitri sedikit terkesiap, lalu ia beranjak pergi, meninggalkan Aubrey sendirian. Akhirnya perjalanan ke luar negeri itu terlaksana, dan setelah 9 bulan, Aubrey kembali. Kini kedua orang tuanya menyuruhnya mencari pekerjaan, dan ia pun disibukkan dengan hal itu. Suatu malam ketika ia masih berada di kota orang menunggu kesempatan wawancara esok harinya, Aubrey mendapatkan pesan singkat masuk melalui aplikasi Signal.

Pesan itu dari Dmitri.

Hai, Aubrey, besok apakah kau datang ke pernikahan Bia?” dikirim pada 20.31. Aubrey segera membalasnya.
“Kurasa tidak, Dmitri. Aku tidak ada di kota sekarang.”

“Lho, kau tidak diundang?” Dmitri dengan cepat membalasnya, Aubrey mulai penasaran ada apa dengan temannya itu.
“Aku diundang. Tapi aku sedang wawancara kerja minggu ini, belum bisa kembali sekarang.”
“Oh baiklah. Wawancara kerja apa?”
“Penerjemah bahasa asing.”
“Wah, hebat sekali profesor satu ini.”
Aubrey terkejut mendapat jawaban dari Dmitri yang malah makin jauh dari tujuan awalnya. Akhirnya ia membalas lagi.

“Mengapa kau bertanya tentang pernikahan Bia?”
“Aku ingin mengajakmu.”

Aubrey terkesiap.
Di kota mereka, ada suatu adat bahwa mengajak orang lain sebagai pasangan datang ke pernikahan teman menjadi tanda bahwa ia memiliki perasaan serius kepada yang diajak. Hal ini karena kadang kala undangan pernikahan hanya untuk si pengajak dan yang diajak punya urusan lain sehingga meluangkan waktu bagi si pengajak menjadi tanda mereka berjuang dalam komitmen. Namun Aubrey berpikir mungkin Dmitri juga mengajak karena Aubrey sama-sama diundang. Setelah menolak lagi, Dmitri masih mengirimkannya satu pesan lagi.

“Kalau minggu depan apakah aku bisa mengajakmu?”

Aubrey panik. Dmitri banyak disukai orang lain, teman-temannya banyak yang naksir kepadanya karena ia orang yang ramah dan peduli serta selalu baik hati, membuat banyak wanita salah paham. Namun jika Dmitri meminta seperti ini apakah artinya Aubrey adalah gadis yang ia pilih?

Chat sederhana itu pun berlanjut cukup lama sampai hari-hari berikutnya. Dmitri menanyakan hal yang merujuk pada kriteria pasangan Aubrey, dan memberi semangat Aubrey yang mengatakan masih ingin bekerja dan sekolah. Hingga akhirnya Dmitri menanyakan suatu hal yang dahulu pernah ia tanyakan kepada Aubrey.

“Aubrey, tidak adakah cowok di luar negeri yang sesuai dengan harapanmu?”
“Eh, kenapa kau tanya demikian?”
“Aku hanya ingin tahu jika ada seseorang atau tidak di hatimu..”
“Ehh?”
“Kurasa tapi tidak mungkin.”
“Apa yang tidak mungkin?”
“Aku… lupakan sajalah.”
“Kamu kenapa?”
“Lupakan saja Aubrey, kau bilang masih ingin berkarir, bukan?”
“Ya, lantas kenapa?”
“Hehe, tidak!”

Aubrey gemas. Tidak disadarinya semakin panjang percakapan mereka berdua, dan Aubrey penasaran di kota mana Dmitri sekarang tinggal karena sudah tidak di kota mereka lagi. Namun Dmitri berpura-pura bermain rahasia, membuat Aubrey gemas dan juga lelah menanyainya. Pembicaraan masih berlanjut tentang sulitnya pekerjaan masing-masing, tapi Aubrey mulai menyadari ada rasa yang tumbuh dalam dirinya. Ia jadi merindukan pesan Dmitri, dan mulai mengiriminya pesan terlebih dahulu. Ia juga mengingat-ingat bagaimana perhatian Dmitri kepadanya, dan penasaran mengapa itu semua hilang. Akhirnya, Aubrey menanyakan tentang keinginan Dmitri untuk menikah.

Dmitri, hidup sendirian dalam kehidupan barunya sebagai pegawai pemerintah, ingin membalas pertanyaan Aubrey itu dengan seluruh perasaannya. Oh, betapa ia menyayangi Aubrey, sudah sejak lama ia menyukai gadis yang kini menjadi wanita itu. Ia kagum dengan Aubrey yang begitu pintar, ceria dan selalu bersemangat menghadapi tantangan. Bagi Dmitri, Aubrey cantik bagaikan bunga Daffodil. Ia begitu kagum sampai tidak yakin ia punya kesempatan dengan Aubrey….

Namun, pesan yang diterima Aubrey adalah:

“Jika sudah ada yang cocok di hati, pasti akan kunikahi.”

Pesan dari Dmitri mulai jarang masuk ke ponsel Aubrey, walaupun terkadang mereka masih seperti bertemu di ruang virtual lewat Dmitri yang menyukai unggahan Aubrey atau sebaliknya. Diam-diam, Aubrey menyimpan pesan-pesan yang ditulis Dmitri di media sosialnya. Hanya untuk mencari jawaban apakah perasaannya terbalaskan.

Namun suatu saat, Aubrey tak bisa menahan lagi perasaannya, akhirnya ia mengatakan kepada Dmitri jika ia menaruh perasaan pada pria itu. Pengecut, batin Aubrey, karena ia hanya bisa melakukannya lewat pesan teks singkat. Tentu saja Dmitri tidak membalasnya. Mungkin saja ia ditolak. Namun, Lavinia mengatakan mungkin Dmitri kebingungan sehingga Aubrey seharusnya bertanya sekali lagi. Memberanikan diri walaupun lemas dan merasa tidak berdaya, Aubrey bertanya apakah ia punya kesempatan.

“Maaf, Aubrey. Aku tidak bisa membalas perasaanmu.
Semoga kau segera dipertemukan dengan orang yang lebih baik.”

Hati Aubrey hancur, siapa sangka ia menaruh perasaan begitu besar pada orang yang dulu hanya ia anggap teman. Ada rasa penyesalan dalam dirinya, seharusnya ia dulu mendekat dengan cara lebih baik dan memberi ruang lebih bagi Dmitri untuk melihat bahwa Aubrey juga hanyalah manusia biasa yang bisa Dmitri raih….

Kini, mengenang itu semua, Aubrey, meskipun lelah dan tidak mampu melakukan apapun, mengirimkan pesan singkat kepada Dmitri yang baru saja mengumumkan pernikahannya.

“Selamat, Dmitri. Semoga pernikahanmu langgeng dan bahagia..”

Dmitri pun membalasnya.

“Terima kasih, Aubrey. Aku benar-benar mendoakan kebahagiaan untukmu.”

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading