Wo Bist Du?

‘Begitu banyak di antara kami akan harus hidup dengan hal-hal yang selesai hari itu.

Hal-hal yang tak berjalan dengan benar, hal-hal yang terlihat baik-baik saja saat itu karena kami tak dapat melihat masa depan.

Andai saja kami dapat melihat rangkaian konsekuensi tanpa akhir yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakan terkecil kami’

John Green

Kutipan ini satu-satunya yang gadis itu ingat ketika ia sama sekali tidak dapat berpikir, bahkan hampir tak bisa bernapas. Baru saja ia mendengar kabar ayahnya meninggal di rumah sakit, sendirian. Wabah bodoh ini penyebabnya. Jangankan menunggui, menjenguk saja tidak ada yang boleh karena ayahnya terakhir kali berada di ICU. Sama seperti dengan ayahnya, gadis itu sendirian, di kamar indekos. Orang-orang di sekitarnya bercengkrama normal tanpa sadar satu nyawa telah pergi dari dunia ini, tapi yang bisa gadis itu dengar hanyalah dengungan.

Kini ia bahkan tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak bisa pulang. Wabah bodoh itu juga yang baru saja membuat seisi rumahnya sakit, dan kini menewaskan ayahnya. Kakaknya pergi ke rumah sakit, yah, setidaknya kakaknya sudah punya istri, dalam kesedihan pun masih ada yang membersamai. Untuk dirinya, lain cerita. Di kamar kos itu ia memang aman dari wabah yang kini menyerang seluruh dunia. Di kamar itu memang ia tak lagi menghadapi amarah dan amukan ayahnya. Namun gadis itu tidak siap ia harus benar-benar sendirian di hari paling menyedihkan di hidupnya.

Tak ada lagi orang tua, tak ada lagi ibu yang sangat ia sayangi. Tuhan memang senang mencabut nyawa makhluknya begitu tiba-tiba, kala itu si gadis tidak mengira akan kehilangan orang yang menjadi harapan hidupnya, tapi ternyata Tuhan tega melakukan itu kepadanya, meninggalkan ia dan kakak-kakaknya merawat ayahnya yang sudah sakit lama. Saat perlahan semua sudah berdamai dengan kenyataan, ia harus menapaki hidup dalam sepi. Berjuang ke sana kemari menentukan langkah kehidupannya, ternyata ayahnya justru memperumit segalanya. Saat gadis itu sama sekali tidak memiliki pekerjaan dan sudah dituntut untuk segera memiliki pekerjaan, ayahnya malah justru makin mengamuk dan marah kepadanya. Ditambah lagi mencecar dan menghina kenapa ia bisa begitu lama tidak mendapatkan pekerjaan tetap.

Akhirnya, satu pekerjaan datang, tepat sebelum ia hampir menyerah. Lepas dari kondisi yang hampir membuatnya gila, perlahan-lahan hidup si gadis mulai bangkit lagi, walaupun sulit. Kemudian ketika keadaan mulai berjalan normal, ternyata ayahnya kembali tantrum, bagian dari emosinya yang tak tersampaikan dan mungkin juga dari penyakitnya yang tidak stabil. Saat itu si gadis sendirian, dan sampai ia begitu ketakutan hingga akhirnya ia diminta pergi mencari tempat tinggal sendiri.

Photo by Micael Widell on Pexels.com

Akhirnya ia hidup di kamar indekos itu, sendirian begitu menyesakkan hidupnya, membuatnya benar-benar merasa kesepian. Tak ada kawan, dan hampir tak ada harapan. Seakan-akan ia hanya terbangun untuk melakukan pekerjaannya kemudian tidur lagi. Begitu saja terus. Namun akhirnya hidupnya mulai sedikit berwarna, teman mulai perlahan datang, walau terkadang ada yang datang ada yang pergi.

Namun, keadaan semesta begitu tidak pasti. Wabah yang tiba-tiba muncul juga membuat segalanya runyam. Berulang kali ia membaca berita kasus kematian akibat wabah yang semakin meningkat. Ada juga teman-temannya yang mengabarkan keluarga mereka meninggal karena wabah bodoh itu. Ia terus berdoa agar ia dan seluruh keluarganya selamat. Ia juga tahu, ayahnya yang sudah sakit lama terancam bisa sakit kronis jika terkena wabah ini. Terkadang ia pulang ke rumah, memastikan semuanya sehat dan tak kekurangan apapun.

Namun tiba-tiba, penyakit itu menghampiri keluarganya juga. Ia dilarang pulang, karena jika ia pulang maka ia bisa tertular. Akhirnya semua hanya mengawasi bagaimana keadaan di rumahnya. Diam-diam, gadis itu mulai khawatir apa yang terjadi kepada ayahnya jika tertular wabah tersebut. Nyatanya, wabah itu memang menular kepada ayahnya. Ia sudah mencarikan rumah sakit, tapi hasilnya nihil.

Perlahan gadis itu mulai menangis putus asa setiap kali rumah sakit menolak merawat ayahnya, mengatakan kondisi ayahnya tidak patut masuk ke rumah sakit karena tidak begitu parah. Namun hati kecilnya tahu ayahnya bisa tidak selamat jika tidak dibawa ke rumah sakit. Usahanya sia-sia, tapi akhirnya ia dan keluarganya berhasil menempatkan ayahnya di rumah sakit. Mereka kira sang Ayah bisa selamat, nyatanya kondisinya terus menurun. Selepas ditempatkan di bangsal biasa, beliau justru masuk ke ICU, tidak lepas dari ventilator. Tak terbayang bagaimana rasa sakit yang diemban sang Ayah, membuat si gadis tidak bisa berhenti menangis dua hari. Ia tidak fokus kepada apapun di hidupnya.

Hingga akhirnya, sore itu ia mendapat kabar ayahnya meninggal.

Si gadis tidak terlalu dekat dengan sang Ayah, baginya ayahnya bukanlah tempat bercerita seperti ibunya, tapi saat mendengar kabar itu ia tidak bisa berhenti menangis. Ia menyalahkan dirinya, mengapa sepertinya ia menyia-nyiakan kehidupan bersama ayahnya. Ia merutuki dirinya yang terkadang sebal dengan keharusan merawat ayahnya. Ia menyesal sejadi-jadinya, merutuki Tuhan yang tega merenggut kedua orang tuanya, menjadikan ia yatim piatu, dan sendirian….

Ironis, batinnya, betapa perjuangan puluhan tahun membuat ayahnya sehat dilakukan ibunya, dia dan semua orang, bisa dengan cepat hancur hanya karena wabah ini, hanya hitungan hari saja wabah bodoh itu menghancurkan kekebalan ayahnya. Ironis, betapa dulunya ia lelah menunggui ayahnya yang sakit, tapi kini ia berang tidak bisa menunggui di saat-saat terakhir ayahnya ada di dunia. Ironis, ia dulu pernah menangis karena ayahnya begitu jahat kepadanya, tapi kini ia tidak bisa berhenti menangis berharap ayah dan ibunya kembali.

Tak ada lagi orang tua tempatnya pulang, tak ada lagi sapaan hangat untuknya. Yang tersisa hanyalah ia sendiri, dengan punggung yang ia harap cukup kuat untuk memikul semua kepedihan yang ia rasakan.

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading