Rona Manis Wajahmu

 

Aku pastilah seperti orang gila karena hampir semua orang di gerbong kereta ini melihatku dengan resah berulang kali. Pasti, aku melakukan kebiasaan anehku saat sedang gelisah: berulang kali menghantamkan deretan gigi atas dan bawahku, sekaligus meremas-remas kedua tanganku sendiri secara terpisah.

Ah, biarkan saja. Aku yakin semua orang di gerbong kereta malam yang kutumpangi menuju kota kelahiranku ini tidak tahu seberapa keras jantungku bertalu-talu, yang mana suaranya terdengar jelas di telingaku, mengalahkan suara mesin kereta dan suara banyak orang bercakap. Kakiku lemas, terlebih saat melihat layar ponselku menyala menandakan ada pesan singkat. Dari gadis itu,

“Mas, aku sudah sampai stasiun. Semoga kau tidak keberatan aku menjemputmu.”

Dari bahasa pesan singkatnya dia tidak berubah: seorang gadis manis yang selalu meminta izin untuk berbuat baik kepada orang lain, meskipun kenyataannya ia tidak meminta izin tetapi hanya memberitahu karena dia sudah melakukannya dahulu. Membuat semua yang menghadapinya pasti merasa jengah, terkejut, bingung bagaimana membalasnya, atau lebih buruk lagi, mengabaikannya.

Sama seperti yang aku lakukan 6 tahun yang lalu.

Aku akhirnya memutuskan untuk membalasnya singkat.

“Iya, Dek. Sebentar lagi ya!”

Tunggu–kenapa menjadi panjang?

Tidak. Tidak boleh. Aku tidak boleh memberinya harapan lagi. Tidak setelah apa yang aku lakukan kepadanya 6 tahun yang lalu. Meskipun aku tidak bersama siapapun saat ini, aku tidak seharusnya menanggapi lebih atas apa yang ia ingin mintakan bantuan dariku. Ya, seharusnya kuhapus saja sisa pesanku dan hanya menyisakan kata ‘Iya,’

Sayangnya karena kegelisahanku, aku justru menyentuh layar di bagian untuk mengirim pesan tersebut. Oh, tidak. Ya sudah, sebaiknya kusimpan saja ponselku agar kegelisahanku berkurang. Namun, alih-alih berkurang. Aku semakin tidak sabar sekaligus takut jika keretanya akan tiba sebentar lagi. Sebal, kubuka ponselku lagi dan sedikit terkejut ketika melihat tidak ada balasan darinya.

Hei, kenapa aku mengharapkan balasan?!

Tapi aku tidak bisa tenang. Ia hanya membaca pesan balasanku. Ah, berbagai pikiran muncul di kepalaku–menambah kalut diriku saja. Mungkin dia sebal aku hanya membalas singkat? Hahahaha-ha…ha…..ha……ha….

Sial. Itu tidak lucu lagi. Jika dahulu aku menertawakan kesebalannya setelah aku mengabaikannya, kini aku tidak bisa melakukannya. Justru, kini aku hanya memperhatikan foto yang ia pasang di akun laman media sosial tempat kami mulai berkomunikasi lagi. Kuperhatikan dia sudah memakai jilbab, mengganti jenis kacamata yang dia pakai, dan oh, dia lebih kurus, meskipun pipinya masih tembem menggemaskan layaknya dulu waktu aku pertama kali mengenalnya….

Aku terlalu asyik memperhatikan foto dirinya, sampai aku tidak sadar jika kereta malam itu sudah sampai tujuan akhirnya. Oh, sebentar lagi aku bertemu dengannya. Kuharap, dia tidak secantik foto dirinya.

Kuharap, ia masih canggung dan aneh agar aku tidak terlalu mengaguminya. Kuharap dia masih melakukan banyak gerakan tidak perlu supaya aku dapat menutupi keinginan untuk mencubit pipinya.

Namun, aku salah perhitungan. Aku memperhitungkan bertemu seseorang dari masa laluku dengan kondisiku di masa lalu, dengan kondisi yang sama dengan masa lalu. Aku tidak pernah berpikir dapat bertemu dengannya dengan kondisiku, kondisinya dan keadaan saat ini. Benar saja, saat aku sudah mencapai tempat para penjemput menunggu, aku mengharapkan ada suara khas yang berteriak memanggilku dengan kencang, layaknya yang sering ia lakukan dahulu. Kenyataannya, di barisan para penjemput aku melihat wanita berjilbab merah muda dengan matanya yang terkunci di diriku, terlihat pintar dengan kacamata yang terlihat baru. Wanita itu tidak tersenyum, dan barulah saat dia melihat senyumku, dia melambaikan tangan dan mendekat kepadaku. Semakin ia berjalan mendekat, semakin aku sadar senyum tipisnya semakin merekah manis. Bagaikan mawar yang baru akan kuntum. Tanpa sadar aku juga berjalan mendekat kepadanya, dan saat kami bertemu, kami mengucapkan satu kata yang selalu kami gunakan untuk menyapa satu sama lain.

“Hai,”

Kini ia tertawa kecil. Tawa itu terasa ganjil karena membuatku ingin tertawa juga sekaligus ada sesuatu dalam diriku yang bergerak. Tawa kecilnya membuat rona wajahnya menjadi semakin manis.

“Halo, Mas Zaki. Kabarmu baik pasti `kan?”

“Halo, Dek Intan yang manis. Kamu juga baik pasti `kan?”

Senyum di wajahnya hilang dengan cepat. Aku terkejut, apakah aku membuat kesalahan? Apakah dia sedih aku memanggilnya begitu?

“Dasar tidak peka! Bagaimana mungkin aku baik jika aku masih tidak punya pekerjaan?”

Ternyata tidak.

Kenapa ini membuatku sedih sedikit?

“Eh, maaf. Kita 6 tahun tidak bertemu dan aku hanya memarahimu. Sungguh, Mas, tidak begitu maksudku!”

Suaranya samar, seperti aku memandanginya dari kejauhan, atau melalui siaran TV. Ah, kenapa harus menunggu 6 tahun agar dia menjadi seperti keinginanku?

Ia masih sama, meledak-ledak, berbicara dengan cepat, emosi dan penuh perasaan, dan ekspresif. Namun, ia sudah mempelajari sesuatu yang dahulu kuajarkan dengan keras: menyelubungi dirinya dengan ketenangan diri. Benar saja, setelah cukup berbicara demikian, kini ia menjadi tenang lagi. Emosinya tidak terungkapkan dengan mudah. Bagus, Intan. Jangan biarkan emosimu mengkhianatimu lagi. Jangan biarkan lelaki berengsek melihatnya dan membuatnya senjata untuk menyakitimu.

Persis seperti apa yang kulakukan dahulu kala.

***

Kini kami sudah meninggalkan stasiun untuk mencari makan malam. Aku masih cukup sebal dia lupa apa makanan favorit kami berdua yang warungnya sering kami datangi, secara terpisah, tentunya.

“Ah, aku sudah tidak begitu suka makanan itu. Lagipula sekarang banyak warung makan baru. Bagaimana jika kita mencoba rekomendasiku?”

“Baiklah. Di mana maumu?”

Dan kami berakhir duduk berhadapan di restoran yang berada di tempat yang dahulunya adalah sebuah ruko. Kami pun memesan makanan, makan dan berbicara sembari tertawa-tawa.

“Mas, masih sama Mbak Vita `kan?”

Aku yang saat itu hendak meminum minumanku sontak hampir memuntahkan sedikit cairan yang sudah masuk ke dalam mulutku. “Apa maksudmu?”

“Kalian langgeng, `kan?”

Tanya itu samar, tak lebih hanya sebuah cara untuk memastikan. Namun dia tidak berhasil menutupi sebuah rasa patah hati yang sudah dia ikhlaskan untuk dia terima dengan sepenuh hati. Kini hanya aku yang tidak habis pikir ia masih memastikan hal itu.

“Kamu tidak tahu ya?”

“Apa?”

“Kami putus.”

“Benarkah? Kukira masih bersamanya. Kenapa kamu memutuskannya?”

Ah, apa yang dia maksudkan??!

“Intan, hentikan!”

“Apa Mas?”

“Menanyaiku tentang Vita. Sudah.”

“Baik, jika kamu tidak mau bercerita.”

Jelas jelas dia tidak mengerti! Bagaimana mungkin aku bisa menceritakannya dengan mudah jika di sini aku merasa bersalah atas apa yang terjadi padanya atas dasar nama Vita? Dan kenapa dia menanyakannya begitu santai seakan-akan dia sudah benar-benar melupakan perasaannya kepadaku?

“Bukannya begitu…” Aku sedikit melunak, tetapi dia memotong kalimatku. “Aku menanyakannya karena kukira kalian pasti sudah berbahagia dan sudah menghitung waktu menuju pernikahan kalian. Maaf jika pertanyaanku menyakiti perasaanmu.”

Here we go again, her and all her thankfullness and all her sorry.

“Kenapa kamu sangat menyukai meminta maaf dan meminta izin atas kebaikanmu?”

“Apa maksudmu?” Ia terlihat bingung. Kemudian aku sadar yang aku tanyakan terlepas begitu saja dari mulutku. “Maaf, Intan. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang memanfaatkanmu dari kebaikanmu.” Ujarku, cukup jahat karena aku mulai mempermainkan perasaannya lagi. Namun jawabannya sungguh tidak terkira.

“Ah, ucapanmu persis ucapan mantan kekasihku.”

“Apa? Hei, aku bukan mantan kekasihmu. Atau kamu berharap demikian?”

“Eh?” Dan tiba-tiba dia menyemburkan tawa. “Tidak ada yang bilang bahwa kamu adalah mantan kekasihku, Mas. Aku membicarakan orang lain.”

“Hei, siapa dia? Kapan kau berpacaran dengannya?”

“Apa urusanmu?” Tanyanya sembari tersenyum kecil. “Cukup ketahuilah dia mengucapkan hal yang juga kamu katakan barusan.”

Aku terpekur, tidak mengira pertemuan yang seharusnya hanyalah pertemuan untuk urusan pekerjaan dapat menjadi serumit ini.

Bersambung

Leave a comment

Discover more from ARCTURIAN

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading